Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Valentine, Budaya Kita, dan Politik Ala Edy Pras Jakarta

14 Februari 2020   19:50 Diperbarui: 14 Februari 2020   19:51 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik, sepanjang hari ini, bagaimana lini masa media sosial banyak dan bertebaran baik yang serius, ledekan, ataupun sinisme mengenai perayaan Valentine. Saya sih sejk bayi sampai mau mati juga tidak pernah merayakannya. Lha memang tidak ada urgensi dan juga perintah dalam apapun itu. Mau agama ataupun budaya.

Nah menjadi lucu, ketika malah melebar ke mana-mana. Bagaimana bisa menuding coklat sebagai sumber maksiat.  Atau juga bagaimana sebuah peristiwa, Valentine bisa menyebabkan kerusakan moral. Cukup aneh dan memaksakan momen dengan mengaitkan sebuah agama atau kelompok.

Jika memang bukan budaya Nusantara, begitu banyak bukan budaya sini yang bisa berjalan dengan begitu saja tanpa hiruk pikuk. Soal perbuatan maksiat, toh itu yang digrebeg Andre Rosiade tidak juga pas Valentine. Pun pelacuran jutaan Vanessa Angel juga tidak pas 14 Februari. Maksiat bukan karena momen, namun soal kehendak.

Cukup lucu, ketika ada peringatan sebuah kebaikan, karena berindikasi dengan sebuah nama agamis, menjadi demikian curiganya. Mengapa sepi-sepi  saja hujatan, kampanye di media sosial mengenai korupsi, terorisme, atau minimal membuang sampah sembarangan saja lah.

Nah dalam konteks yang identik ini, ada yang juga menarik. ketua DPRD Jakarta ini, dulu era Ahok demikian galak, dikit-dikit panggil, interpelasi malah. Yang dianggap santai dan angin lalu oleh Ahok. Benar bahwa Edy Pras tidak terlibat secara langsung. Namun di sana kegaduhan itu sangat kuat.

Kini sangat jauh berbeda. Hanya mengatakan kaget, ketika pohon di depan hidungnya lenyap dari tempatnya. Wajar tidak sih, sebuah lembaga pengawasan tidak tahu ratusan pohon di depan matanya hilang demikian saja dan bereaksi, bahwa kami kaget.

Jika itu pohon dalam pot hilang, bolehlah mengatakan itu sebagai perbuatan senyap. Lha ini ratusan pohon dengan volume bisa ratusan kubik kog hanya kaget. Apakah tidak lihat aktivitas sedemikian tinggi, pohon-pohon puluhan tahun hilang, dan ke mana itu kog juga semua diam.

Ketua dewan juga mengatakan kalau Anies keras dengan mengatakan ia punya palu, dan itu bisa berdampak.  Cukup lucu dan aneh saja, tugasnya kan mengawasi, bukan hanya berteriak-teriak di depan media.  Ia harusnya jauh sebelum ini sudah mengatasi hal ini. Soal surat  dari badan Cagar Budaya ini kan hanya sebagian kecil dari keadaan kacau yang lebih gede.

Sekda juga kembali mengerdilkan masalah dengan hanya salah ketik. Lagi-lagi hal yang gede dikecilin dan yang kecil diurusin. Jelas makin kacau keberadaan Jakarta dengan keberadaan para pemimpinnya.

Kaitan dengan Valentine Apa?

Pandangan Valentine yang tidak ada apa-apanya kemudian dikaitkan dengan ajaran agama tertentu. Ketika itu dimentahkan dengan fakta melebar ke urusan coklat.  Dikaitkan dengan maksiat dan seterusnya. Ini kan jauh panggang dari api. Hanya mengait-kaitkan hal yang sama sekali tidak berkaitan.

Kekisruhan Jakarta juga berpola yang sama. Bagaimana  bisa kayu ditebang kemudian dikatakan sebagai disehatkan dan tiba-tiba ada pengakuan sudah jadi meubel. Ini jelas kengawuran yang dipertontonkan dengan gamblang dan tidak ada penyelesaian.

Dewan yang memeliki kewenangan seolah diam saja. Apakah ada sesuatu di sana? Entahlah yang pasti pada periode kemarin mereka paling riuh rendah kog. Gaduh tidak karuan. Padahal jelas kualitas kepemimpinannya.

Valentine ini bukan apa-apa. Apanya yang harus diberi porsi secara berlebihan coba. Bandingkan dengan Imlek misalnya kog sepi. Jangan sampai kita ini, bangsa ini menjadi domba aduan dan pihak lain yang mendapatkan hasilnya. Mengerikan negeri kita dicabik-cabik dengan keji tanpa kita tahu maksud aslinya. Hanya karena kebodohan dan kemalasan kita sendiri.

Kekacauan Jakarta juga kelihatan di depan mata. Namun mengapa tidak diselesaikan dengan semestinya coba. Bayangkan ini bukan yang pertama soal cagar budaya, balapan mobil listrik ini, atau kerusakan Monas. Namun mengapa berlarut-larut?

Jangan sampai ketika sudah terlambat semua baru mengaku kecolongan atau kaget. Lha selama ini memangnya ke mana saja? Kerja kog cuma kogat kaget saja.

Pembiaran gaduh tidak bermanfaat. Entah sampai kapan keadaan seperti ini. Energi bangsa hanya dikuras untuk Natal dan Valentine, yang sejatinya tidak ada apa-apa bagi Gereja. Tetapi ketika riuh terdengar juga capek juga wong tidak ada apa-apa kog malah pihak lain ribut. Dan sering tidak ada yang bermanfaat lagi.

Sama Jakarta ini, seharusnya ada penyelesaian. Bukan hanya pihak yang satu menuding pasti pejabat itu salah dan sisi lain pun membela dengan sikap yang sama. Kepastian hukum yang tidak ada. Semua tersandera dan apa iya bekerja dengan maksimal jika demikian?

Memang semua ini adalah buah dari demokrasi. Demokrasi yang tidak dibarengi dengan kemampuan dan kebiasaan belajar, ya seperti ini. Suka atau tidak, masih akan terus ribut dan gaduh pada hal-hal yang ecek-ecek.

Mosok perayaan kasih sayang saja penuh kebencian, bagaimana orang bisa menebarkan kebaikan jika demikian? Tidak setuju dan tidak suka ya jangan memaksa pihak lain memiliki pemikiran yang sama. Lha kembali, demokrasi setengah hati.

Terima kasih dan salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun