Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Jokowi

28 Januari 2020   10:08 Diperbarui: 28 Januari 2020   10:30 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dilema  Jokowi

Beberapa hari ini riuh rendah ketika banyak relawan dan yang mengaku relawan "menagih" jabatan atau minimal "reward". Pada sisi lain, juga banyaknya aksi bersungut-sungut kala banyak kenaikan ini dan itu. Sisi lain lagi banyaknya pengungkapan kasus ini dan itu, konsekuensi atas janji Jokowi yang mengatakan tidak ada beban lagi pada periode kedua ini.

Konsekuensi buka-bukaan ternyata tidak mudah dan sangat berat bahkan, karena membawa konsekuensi penolakan dan resistensi dari berbagai pihak. Mana ada yang enak tidur, ketika kebiasaan berpesta itu dihentikan dengan telak.  Dampak yang sangat berat memang, karena sekian lamanya ada pembiaran dan tahu sama tahu.

Kenaikan ini dan itu identik dengan ketika memutuskan BBM satu harga dan naik turun sesuai mekanisme pasar. Gejolak yang sama, kecewa, bahkan ada yang berteriak menyesal memilih Jokowi. Kini terulang lagi. Berbagai grup pembicaraan menyatakan yang senada. Kecewa dan bahkan ada yang sampai mengatakan kecewa memilih Jokowi. Logis juga sih.

Puluhan tahun dengan pola pendekatan yang selalu sama. Subsidi dan itu dari hasil hutang, pertama. Kedua, kekayaan alam menjadi bancaan elit. Ketiga, manajemen boros, tidak efisien dan sama sekali tidak efektif. Keempat, birokrasi seadanya, bahkan sampai pensiun ya itu itu saja, tidak ada evaluasi baik dan buruk. Kelima, demokrasi yang masih cukup dini, dna banyak yang tidak taat azas.

Subsidi. Ini lagi-lagi yang menjadi gejolak. Mengapa? Karena orang sudah sekian lama hidup dalam nina bobo subsidi, kala itu dikurangi, plus permainan politik, jadi gaduh. Apa-apa dikaitkan dengan politis. Apapun yang dilakukan menjadi komoditi. Kebenaran dan kenyataan bisa jauh dari apa yang semestinya. Ini jelas sangat berat dan menjadi beban yang menghambat.

Belum lagi subsidi banyak diambilkan dari pinjaman yang tidak pernah berkurang. Dan itu yang dibesar-besarkan. Dibarengi oleh kebocoran dan elit tamak. Kebocoran dari atas dan bawah dan itu sangat berkiatan dengan lagi-lagi inefisien.

Kekayaan alam menjadi bahan bancaan. Ini sangat besar dampaknya penolakan. Bagaimana mereka ini tidak banyak, namun memiliki kekuatan   dan jaringan. Jaringan itu bukan hanya dalam negeri, termasuk dari luar negeri yang terbiasa berpesta dengan murah untuk menyuap dari pada bisnis secara legal. Hal yang sangat biasa.

Kini semua mau diatur menjadi kekayaan negeri demi kemakmuran bersama. Nah yang terbiasa berpesta tentu tidak nyaman. Kerja keras yang dikehendaki, padahal biasa enak. Kerja seenaknya pokoknya kaya.

Manajemen boros, tidak efisien, dan tidak efektif. Hal yang jelas dari perilaku birokrasi, BUMN, dan juga bidang yang dikelola negara. Hal yang identik. Lihat ketika BUMN ada di tangan yang baik dan benar, semua ketahuan kualitasnya. Dan ini memangnya mulus-mulus saja. Lihat reaksi Pak Beye.

Pak Beye itu bisa menjadi gambaran bahwa kerisiauan elit juga tidak kecil. Belum lagi reaksi yang lain, sebagaimana pernyataan-pernyataan Said Didu atau yang lain. lihat penolakan Dirut Garuda atau Diruk PT Pupuk Nusantara.

Apa itu itu kebobrokan kemarin sore? Jelas tidak, itu kesalahan sangat lama. Dan pilihan berat harus diambil.

Birokrasi mandeg.  Dalam sebuah media sosial ada yang mengatakan jika karyawan dan elit TVRI seperti gajah yang ndheprok. Susah untuk bergerak, apalagi  menggerakkan. Menggeser pantatnya saja susah, apalagi bisa  mengajak mereka bergerak. Hal yang sama dengan birokrasi dalam pemda atau kementrian. Ada perubahan, namun masih jauh dari harapan. Mentalitas feodal dan  aparatur sebagai atasan bukan pelayanan memang susah.

Model promosi dan degradasi tidak ada. Lihat saja pemimpin daerah bisa melantik istri, ipar, kakak, anak, dan paling parah adalah timses. Raja-raja kecil merepotkan. Dan apakah ini baru? Jelas lagi-lagi tidak. Ini karakter menuju pada budaya dan etos kerja.

Demokrasi bayi. Ini jelas konsekuensi tidak mudah. Semua orang berbicara, semua orang bisa berkomentar. Dan sayangnya masih dibarengi juga dengan abai kepantasan, azas, dan juga penghormatan. Kalau dipidana atau penegakan hukum ngeles atas nama demokrasi. Hal yang masih taraf wajar, kecuali ketika itu sengaja dan kemudian mengaitkan dengan politik identitas.

Hal-hal di atas bukan persoalan kemarin sore, tiba-tiba ada, dan kemudian diperbaiki. Ini masalah lama, Jokowi kalau mau melaju dengan mulus bisa saja membiarkan itu semua berjalan seperti dulu-dulu. Tidak akan ada gejolak, baik elit ataupun akar rumput. Namun pilihan sulit itu harus dipilih karena memang itu demi bangsa dan negara.

Pilihan-pilihan pelik, bahkan sulit harus diambil. Dan itu kadang membawa konsekuensi sangat tidak enak. Sama juga kanker kalau dikemoterapi akan menimbulkan mual, muntah, rambut rontok, dan juga kesakitan luar biasa. Dan itu berdampak juga pada banyak pihak dan keluarga pasien. Negara ini sama dengan penderita kanker itu, keadaan yang tidak nyaman memang perlu dijalani dulu. eLeSHa.

 

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun