Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bijak Bermedia Sosial dan Tabiat Menang-Kalah

16 Januari 2020   20:49 Diperbarui: 16 Januari 2020   20:50 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pagi tadi, membaca sebuah reaksi atas tayangan dalam media sosial jadi berpikir, betapa rentannya media sosial. Ada sebuah photo betapa fanatisnya demi bonsai mengambil bahan di antara telor ular. Melihat gambar dan  tulisan yang menyertai saya pribadi mengartikan demikian.

Ternyata ada komentar sangat pendek, perusak  habitat. Dari sinilah polemik terjadi. Melihat hal  itu, ada tiga kelompok besar yang memiliki sikap. Pertama, pendukung komentar bahwa itu merusak habitat dengan segala argumennya. Dan bahwa menyukai sesuatu tidak perlu dengan merusak yang lain. Ada pula komentar untuk juga menyelamatkan si calon ular.

Kedua, yang bersifat netral atau obyektif. Ini bersoal mengenai cara bertutur yang ditanggapi dengan beragam. Sampai ada yang merasa seolah menantang. Memberikan masukan bahwa itu hanya mengenai pemilihan bahasa. Dan diakui pemilik komentar bahwa ia memang terbatas. Gagasan untuk menyelamatkan telor dan si ular.

Ketiga, kontra. Merasa bahwa itu normal dan sah-sah saja. Mengaitkan dengan agama, bahwa ular boleh dibunuh karenanya telornya juga boleh dirusak. Komentar lain mengatakan seperti profesor saja bahasanya. Tanggapan model begini yang cenderung melebar dan menjadikan panas keadaan.

Syukur bahwa tidak sampai memaki dan mengeluarkan umpatan. Sempat panas dan cenderung meninggi memang. Dan ternyata pada tanggapan lain yang senada, bahwa ini membahayakan habitat ular, sebaiknya ditunda atau diselamatkan juga tidak menjadi polemik dan bersaut-sautan komentar dan tanggapan.

Belajar dari hal ini ada beberapa hal cukup menarik untuk direnungkan;

Latar belakang, pendidikan, pengetahuan, dan etika media sosial sangat beragam. Hal ini bisa menjadi masalah, ketika orang yang berinteraksi itu tidak berjarak. 

Reaktif, sumbu pendek, dan ala senggol bacok. Miris adalah kadang orang berpendidikan namun perilakunya demikian abai akan ranah etis. Artinya pendidikannya baik namun pemahaman etisnya tidak selaras.

Berjarak, orang bisa demikian berani menantang orang kadang, karena ada jarak, dunia maya, bukan yang nyata.  Tidak yakin kog orang bisa berargumen dan ngotot demikian ketika berhadap-hadapan. Kemungkinan waktu untuk mencerna dan menjawab spontan itu bisa teralihkan ketika di dunia maya. Dan ini yang sering dimanfaatkan pribadi-pribadi yang suka berdebat dan mendebat.

Keakuan yang gede. Aku pasti benar, orang lain yang berseberangan pasti salah. Miris, ini terpapar juga karena pemahaman teologis sekelompok orang yang berciri demikian. Melihat  perbedaan sebagai musuh. Tidak jarang juga mencari-carai bahan untuk mendebat dan mengalahkan orang. Hal yang sangat jamak dan mudah kita temui di dunia maya.

Kodrati sih berbicara keakuan, level sufi, orang yang sudah tercerahkan, orang yang sudah berkesadaran, atau orang yang sudah melampaui dirinya memang tidak banyak. Mereka yang sudah tidak akan lagi menomorsatukan dirinya, dan memberikan kesempatan pihak lain juga berargumen.

Kecenderungan keakuan memberikan bantuan dan penguat untuk menekan pihak lain mengaku keungulannya, ini masalah. Sikap menang-kalah menjadi persoalan dalam hidup bersama. Perlu menuju pada menang-menang. Jika demikian, orang tidak terlukai harga dirinya, menang tanpa ngasorake.

Mengapa seolah bangsa ini dominan orang memahami sikap menang-kalah?

Pendidikan di dalam keluarga sejak kecil memang cenderung demikian.Kamu sudah gede mengalah, tanpa ada dialog lebih lanjut. Ketika merasa ketidakadilan itu boleh, mereka juga akan melakukannya di luar rumah. Sikap yang sebenarnya tidak dalam kesengajaan namun terjadi. Dan itu snagat biasa di dalam keluarga-keluarga kita.

Pendidikan sekolah, pernah sekian lama anak-anak seolah di didik dalam dunia rimba ketika saling sikut dan saling sikat untuk menjadi yang terbaik. Sekolah favorit dan cara seleksinya dengan demikian kasar dan kejam. Wajar kompensasi pada tempat lain terjadi.

Keteladanan elit, terutama politik yang demikian kasar dalam mencapai tujuan. Jangan naif mengatakan itu  tidak berdampak. Nyatanya setiap waktu terus menerus media arus utama ataupun sosial menampilkan perseturuan dan kubu yang demikian ekstrem. Politik yang tidak kenal hitam putih itupun digambarkan hitam putih kog.

Pemilihan ujian sistem pilihan ganda. Langsung atau tidak langsung anak dan generasi muda tidak diberi kesempatan untuk eksplorasi kemampuan otak untuk berbeda pendapat. 

Keseragaman pola pikir sudah tercipta dengan pola yang sangat lama dan pasti. Ketika mendapatkan sedikit saja peluang untuk berbeda, dibesar-besarkan. Padahal sejatinya tidak perlu demikian.

Sikap tahu diri juga lemah. Justru model sok tahu lebih kuat dan berpengaruh banyak karena model dan falsafah pokoke. Hal yang erat berkaitan karena bersikap menang kalah menjadi gaya hidup dan tabiat sebagian besar bangsa ini.

Beberapa kelompok aliran agama memiliki kecenderungan seragam, berbeda salah bahkan musuh. Hal ini merembet dalam banyak hal. 

Semua segi mau diseragamkan dan takut memiliki pemahaman yang berbeda. Ketika ada yang berani menyuarakan hal yang berbeda dapat memperoleh labeling musuh atau anti.

Falsafah Jawa mengatakan, ngalah dhuwur wekasane, dan itu sering hilang dan tidak diingat lagi. Menang itu kuasa jauh lebih mewarnai hidup bersama.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun