Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

M. Taufik: Sejak Dulu juga Banjir, Belajar Kepemimpinan dari Banjir

20 Desember 2019   19:19 Diperbarui: 20 Desember 2019   19:20 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

M. Taufik: Sejak Dulu juga Banjir, Belajar Kepemimpinan dari Kejadian Banjir

Waki lketua DPRD, M. Taufik mengatakan, mengapa repot sejak dulu juga Jakarta banjir. Ini benar, fakta, dan memang demikian.  Kisah dan  tanggapan yang beraneka ragam, sulit lepas dari politis dan pilkada Jakarta. Apa yang terjadi, kadang tidak logis, dan lebay. Saling serang dan saling sikat. Hal yang tidak pas dan penting. Ada pula hoax, yang mengatakan an melibatkan nabi sekalipun. Hal ini tidak berfaedah dan malah ribet ketika tidak menyelesaikan masalah, hanya soal klaim dna tidak benar lagi.

Ada sebuah status di media sosial dari Kompasianer, sejak kemarin hanya lagi enggan menulis saja, menyatakan, Jokowi pernah mengatakan menjadi presiden akan memudahkan menyelesaikan masalah banjir.  Ini pun lagi-lagi soal politis dan tidak sesederhana status itu.

Beberapa tanggapan dan pernyataan baik yang pro dan kontra sejatinya hanya memperkeruh suasana, dan juga menampakan kualitas pemahaman masalah dan bukan sebentuk solusi.

M. Taufik. Benar bahwa banjir sejak dulu ya ada. Dan menjadi miris, kali ini adalah baru permulaan musim. Dan hujan hanya beberapa jam saja. Ini soal kemampuan menangani banjir bukan soal bahwa banjir selalu ada. Lha buat apa, pemerintah daerah, termasuk dewan dibayar mahal kalah hanya sepele, bahwa sejak dulu ada. Lha pemilu itu lima tahun juga ada, kenapa diadakan lagi.

Jawaban terkoplak, nyatanya makan dan juga makan lagi, toh ujung-ujungnya ke jamban.  Pemimpin itu membawa perubahan. Membangun, memperbaiki, bukan hanya sekadar ada. Ya pantes tidak ada perubahan kalau pola pikirnya demikian. Pantes, bobrok.

Bupati Bogor. Ini jawaban atas tudingan Gubernur Jakarta. Tapi jawaban yang cukup lucu dan pantas jika menghadapi model pemerintahan Jakarta yang koplak begitu. Bupati menyatakan, salah sendiri Jakarta ada di bawah.  Lha kan benar. Keberadaan Bogor lebih atas, dan air akan selalu mencari tempat yang lebih rendah. Tidak perlu susah-susah dan pusing sebagai pimpinan daerah atas. Wong hanya menjadi kambing hitam yang tidak bermutu.

Kadis SDA Jakarta, mengatakan itu air yang antri masuk lobang dan saluran tidak bermasalah. Ini lagi-lagi koplak apa koclok. Logikanya, kalau lobang itu baik dan benar, air lancar masuk dan mengalir dengan baik, tidak akan ada masalah. Ingat,  kata M. Taufik, banjir bukan kali ini saja. Artinya, sekiranya antara kemungkina  jumlah air dan lobang itu sebanding, tidak akan ada air di jalanan sampai setinggi itu dan sekian lama.

Presiden, keruk saluran dan bendungan. Ini sejatinya normatif sebagai pimpinan yang tau baik kondisi yang ada. Lagi-lagi Kadis menyatakan sudah, tidak perlu diperintah. Lucunya adalah anggaran dipangkas, dan itu pekerjaan fisik, terlihat kinerja dan gawe yang tidak bisa sekejab. Bukti lain adalah nyatanya ada banjir, apapun namanya, mau genangan, mau air lagi antri atau apapun.

Menarik jika melihat hal-hal tersebut di atas.

Kepemimpinan yang mengedepankan, narasi, mempertahankan diri, dan model lepas tangan akan dengan mudah mencari kambing hitam. Ada soal antrian lah, toh itu rutin terjadi, atau soal kawasan yang atas sebagai pengirim banjir. Ini bukan sebuah kepemimpinan yang baik dan benar.

Tahu kondisi Jakarta itu rendah, banyak saluran yang kemungkinan macet karena perilaku manusia yang masih memprihatinkan, dan kemudian budaya membuang sampah, bahkan ksur pun dibuang ke kali dan saluran air. Ini jangan dianggap sepele dan dinafikan. Kerja keras memang bagian kebersihan, karena budaya bersih belum menjadi gaya hidup yang membumi. Masih perlu kerja keras.

Sangat tidak jalan alun pikir soal air antri masuk lobang. Jelas lobang yang ada tidak sebanding dengan jupah air yang antri. Dan itu bukan soal dan salah air atau jumlah lobang, namun bagaimana manusianya menyediakan lobang yang mampu menampung seberapa banyaknya air yang mau antri.

Gambaran gampangnya, kalau ada penonto 10.000 orang dengan satu pintu, akan perlu berapa lama agar semua bisa masuk? Nah ketika biar cepat berati perlu lebih banyak pintu. Kan begitu logikanya, bukan malah mengatakan itu antian mau masuk, bukan berbicara jumlah yang mau masuk dan jumlah pintu, buat apa kadis model demikian?

Sama juga dengan dalih toh banjir selalu ada. Lha buat apa menjadi pemimpin kalau tidak ada perubahan. Tuh lihat saja kalau rumah yang iaa tempati bolong gentengnya, diperbaiki atau tidak, atau bicara toh bolong dari kemarin sama saja kog. Atau kalau dia panuan berobat tidak? Ini soal kemauan bukan soal ngeles semata.

Mengaitkan dengan pernyataan Jokowi. Jelas lebih mudah, ketika mau berkoordinasi dan menjadlin komunikasi. Ingat komunikasi, bukan hanya  mencari kambing hitam. Soal banjir itu melibatkan Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan juga pihaka kementrian. Siapa yang bisa koordinasi, jelas level presiden.

Nah ketika ada kepentingan politis dan mengaku sebagai gubernur rasa presiden, yakin mau mendengarkan gagasan dari menteri dan presiden? Ini masalah soal politis bukan soal banjir atau pembangunan. Jauh lebih kental aroma kepentingan kelompok bukan daerah. Membaca dengan kaca mata kuda menjadi susah.eLeSHa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun