Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Makna di Balik Pernyataan Jika Rakyat Menghendaki Hukuman Mati Koruptor

10 Desember 2019   16:40 Diperbarui: 10 Desember 2019   16:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi selaku presiden, usai mengikuti rangkaian peringatan Hari Antikorupsi menyatakan, jika rakyat menghendaki, hukuman mati bagi koruptor itu bisa dilaksanakan. Cukup menarik dan menggelitik mengapa ada pernyataan demikian, ada membawa-bawa rakyat, sangat jarang presiden memilih  atas nama rakyat demikian. Beberapa hal patut dilihat,

Representasi rakyat itu adalah DPR. Suka atau tidak, dewan adalah wakil rakyat, meskipun cenderung menjadi wakil parpol, dan sama sekali tidak terdengar kog suaranya soal rakyat. Dan jika mereka ini yang mengambil atas nama rakyat, rakyat menghendaki bukan masalah. Nah ini adalah sentilan bagi anggota dewan untuk berani tidak berinisiatif untuk mengagendakan adanya upaya memasukan hukuman mati dalam pemberantasan korupsi.

Atau jangan-jangan pemerintah sudah pernah menawarkan opsi luar biasa ini, di tengah keberadaan korupsi yang merajalela dan anggota dewan  yang sekali lagi representasi wakil atau kepanjangan tangan rakyat menolak? Ini sangat mungkin, karena keberadaan wakil rakyat yang memang demikian.

Presiden tentu juga tahu dan paham kog, kalau rakyat itu sudah sangat geram melihat perilaku ugal-ugalan korupsi di hampir semua lini kehidupan. Apalagi yang namanya anggota dewan hingga orang partai politik. Kejengkelan rakyat ini sering hingga meneriakan hukum mati bagi para pelaku korupsi apalagi OTT.

Miris dan susahnya adalah penegakan hukum yang masih sering setengah-setengah, di mana KPK yang makin kedodoran, dan juga nantinya penegakan hukum yang masih saja tidak karuan. Bagaimana hukum maksimal itu masih sangat lemah. Sejak tuntutan saja lemah apalagi eksekusi.

Dari hari ke hari, makin banyak yang lepas dari jerat KPK, artinya KPK ada masalah dan di sanalah yang perlu pembenahan. Masyarakat sudah senada dengan pemerintah terutama presiden untuk mengurangi angka korupsi secara signifikan. Apa yang presiden nyatakan itu jelas bermakna dalam, jika mau beroikir dengan jernih dan menyeluruh.

Mengapa tidak mengatakan, itu coba beri masukan pada dewan, jelas ini merendahkan citra dewan yang memang sudah rendah. Tidak itu yang presiden mau dan bukan gaya Jokowi berpolitik merendahkan pihak lain. Memilih jika rakyat menghendaki jelas membakar semangat rakyat untuk terus menggelorakan semangat pemberantasan korupsi dengan lebih lantang lagi.

Jelas ini bukan hendak mengatakan kalau rakyat selama ini tidak menghendaki hukuman mati bagi koruptor, namun mau  mengatakan, ayo dewan sebagai representasi rakyat, mana nyalimu mengusulkan hukuman mati bagi koruptor. Ini penting, mendesak, dan bisa menjadi solusi efek jera dengan mengerikannnya pelaku  korupsi yang tidak lagi kenal basa-basi, apalagi takut lagi.

Selain hukuman mati apa yang penting adalah;

Harapan bagus telah dilakukan Menteri BUMN  dengan gebrakan dan perombakan yang signifikan, nah bagaimana MA dan jajaran Menkum HAM juga melakukan perombakan dan gebrakan yang sama. Jangan melihat penyelesaian korupsi hanya pada KPK. Lihat bagaimana kinerja hakim, petugas penjara, dan itu  memegang peran penting.

Desas-desus, ya seolah maaf kentut baunya menyengat namun bukti sangat susah, bagaimana jual beli pasal dan hukuman itu bisa terjadi. Ini juga korupsi, jangan salah dan seolah-olah hal yang wajar saja demikian. Konon Ombudsman pernah menyamar sekian abad, eh tahun lalu, apakah ada perubahan? Sepertinya tidak. Sejak awal sudah diajak bermain-main dengan kasus, oleh petugas peradilan.

Jelas ini mendasar persoalan, karena pemegang palu peradilan yang berinisiatif dan menjadi ujung tombak penegakan hukum malah menyelewengkan hukum. Banyak kasus yang melibatkan pengadilan masih diam tidak ada tindak lanjut.

Penjara, berkali ulang adanya napi jalan-jalan, sel mewah, dan lagi-lagi jelas suap. Bagaimana bisa hanya pelaku lapangan, sedangkan jajaran di atasnya melaju dengan begitu saja. Tidak ada tindakan lanjutan untuk mereka. Mengorbankan bawahan, dan sangat tidak mungkin bisa keluar atau sel mewah tanpa adanya  apa-apa di sana.

Pemiskinan. Jelas ini menjadi yang utama. Mengapa? Uang hasil korupsi akan sangat mungkin digunakan untuk kembali menyuap baik penegak hukum, pengadilan, dan juga di penjara. Hal ini sudah banyak pemberitaan yang demikian. Asalnya karena uang mereka masih banyak dan belum tersentuh oleh hukum untuk dapat membuat mereka jera.

Pengulangan bukan jera, bagaimana mereka masih bisa petentang-petenteng menjadi pejabat lagi, karena lemahnya sanksi sosial dan sanksi hukum yang berat. Sanksi sosial dengan tidak memilih, berarti bahwa ini perlu memberikan pembelajaran bagi pemilih.

Penghargaan atas kekayaan, lepas dari asal-usul keberadaan kekayaannya. Bagaimana selama ini rakyat bangsa ini masih silau akan keberadaan materi sebagai kehormatan. Lagi-lagi ini soal rakyat dan pemahaman sosial.

Sisi lain, sanksi hukum jelas dengan hukuman mati, plus pemiskinan, sehingga mereka benar-benar kapok, bukan kembali mengulangi tanpa malu bahkan masih gagah dan seolah baik-baik saja. eLeSHa.

 

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun