Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Garuda Indonesia dan Gambaran Burung Garuda dalam Berbangsa

8 Desember 2019   11:24 Diperbarui: 8 Desember 2019   11:25 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi menanggapi pemecatan dirut Garuda itu adalah pesan bagi siapa saja agar tidak main-main. Tindakan tegas dari Menteri BUMN patut diapresiasi bahwa ini penting, dan sejalan dengan apa yang dikehendaki Presiden yang bisa diterjemahkan dengan baik oleh menterinya.

Gambaran Garuda Indonesia, tentu sebatas gosip dan isu-isu yang berkembang dalam pembicaraan media sosial, pun yang sedikit banyak menemukan faktualisasi, kala satu dua pihak menyatakan yang sama, bukan pengulangan. Kog seolah menjadi gambaran Burung Garuda sebagai lambang negara Bangsa Indonesia selama ini.

Penghinaan terhadap Burung Garuda dengan demikian masif dan terus terang ya senada dengan yang terjadi dalam tubuh Garuda Indonesia ini.

Gaya hidup mewah di antara keprihatinan bangsa.

Lihat keberadaan Garuda dengan segala keprihatinannya, toh  gaya hidup dan peri hidup petinggi dan elitnya ugal-ugalan. Mereka bisa mendapatkan apa saja, padahal perusahaan dalam kondisi yang masih belum sehat, dan memberikan dampak baik bagi hidup bernegara dan berbangsa.

Apakah mereka peduli? Jelas tidak. Gambaran paling jelas "penyelundupan" barang mewah itu, apalagi jika benar terbukti uang negara yang dipakai.

Bagaimana Garuda lambang negara pun dilecehkan sekian lama. Hidup di dalam naungan Bangsa Indonesia, makan dari tanah Indonesia, minum air bumi pertiwi, bekerja di tanah dan air Indonesia, toh banyak yang mengatakan bangsa ini bangsa yang perlu diganti, bangsa yang salah, bangsa yang perlu diluruskan, perlu disucikan. Lha aneh bukan? Padahal keprihatinan bangsa jauh lebih banyak sekadar mengganti ideologi yang sudah final itu.

Gaya hidup yang bertentangan dengan apa yang sebagian besar anak bangsa hidupi dan itu fakta di depan mata. Apa yang terjadi itu hanyalah sebuah puncak fenomena gunung es di dalam lautan masalah BUMN.

Garuda yang sakit, namun seolah-olah baik-baik saja.

Bagaimana keberadaan Garuda belum bisa menjawab kebutuhan zaman dan bagi bangsa. Baik pelayanan, apalagi jika berbicara keuntungan atas modal negara, namun gaya hidup ugal-ugalan elit Garuda dan BUMN lainnya, bagaimana kondisi ini seolah baik-baik saja di depan publik. Baik-baik saja maka layak medapatkan fasilitas melimpah.

Lihat bagaimana Garuda sebagai lambang negara yang sejatinya baik-baik saja sedang dinodai oleh para pengasong ideologi lain. Mirisnya mereka merasa tidak bersalah, sama bukan?

Padahal masalah lain jauh lebih pelik dan membutuhkan energi, pemikiran, dan aksi kita bersama. Lihat terorisme yang belum berkurang, korupsi apalagi, belum lagi pelaku munafik dalam seluruh jalinan hidup berbangsa ini.

BUMN dan fundamentalisme.

Miris ketika bangunan rumah ibadah megah, peringatan ini dan itu besar-besaran dengan pemuka agama yang berkelas, namun sekaligus perilaku tamak, maling, rakus, dan merampok uang rakyat berjalan dengan bersama-sama seolah tidak ada ajaran agama yang pernah mereka terima. Kan miris, keagamaan laju, uang ijo. Seperti kata Menkeu Sri Mulyani, keagamaan bagus lihat uang sedikit saja hijau dan jatuh.

Sebagai bangsa dengan simbol Burung Garuda, miris sejatinya, bagaimaa sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat diagung-agungkan dan bisa membawa orang dengan tudingan penistaan agama, namun maling korupsi melaju dengan biasa saja. Ini kan munafik, jika tidak mendengarkan ajaran agama maling sih masih lah bisa diterima nalar.

Atau maling karena lapar dan demi hidup. Lha ini demi gaya hidup. Artinya sangat mengerikan karena berdasar ketamakan, bukan demi mempertahankan hidup. kehidupan mewah dan bergaya yang menjadi acuan.

Garuda dan BUMN cenderung menjadi sebentuk feodalisme gaya baru. Pimpinan dan  elit itu menjadi jaminan bisa apa saja. Mau membuat menjadi merah atau biru terjadilah. Seperti slogan raja-raja kuno, sabda pandhita ratu, di mana pemimpin itu bisa mengubah seluruh keadaan, dalam arti konteks yang luas lho ya.

Dan itu sekian lamanya, pembiaran dan bahkan solah tutup mata melihat maling bergetayangan, tikus berpesta pora di sana. Soal keterlibatan atau tidak, hukan ulasan, yang jelas ada pembiraan. Tidak ada tindakan nyata dan jelas.

Lagi-lagi identik dengan apa yang terjadi dengan Garuda, bagaimana sila keempat dan kelima ternyata diabaikan. Keadilan sosial bagaimana ketika hanya memenuhi gaya hidup elit tamak yang tidak pernah ada puasnya itu. gaya hidup tidak akan pernah cukup bahkan seluruh dunia sekalipun.

Ketika ada yang berlebihan, tentu ada yang kurang, dan itu adalah rakyat kebanyakan tentunya. Dan keadilan yang mau diupayakan ternyata digarong elitnya sendiri.

Sila keempat yang berbicara demokrasi juga sedang dipunggungi ketika orang feodal menjadi segalanya. BUMN kog malah seolah menjadi milik sendiri. Bagaimana bisa negara sejahtera, wong kekayaannya dikelola bak raja-raja kuno, sudah tidak profesional, arogan, dan tamak lagi. Komplit sudah derita bangsa ini.

Saatnya bebersih dan tidak main-main. Sepakat dengan peringatan Presiden Jokowi dan langkah nyata menteri terkait. Dinanti untuk sapu-sapu bagi pelaku fundamentalisme-intoleran, maling berdasi, dan aneka mafia yang masih menjadi lintah tamak di mana-mana. eLeSHa.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun