Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Tiga Hari ala Seto Mulyadi dan Kendalanya

5 Desember 2019   14:28 Diperbarui: 5 Desember 2019   14:44 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekolah Tiga Hati Ala Seto dan Kendalanya

Gagasan sekolah tiga hari yang diusulkan Kak Seto seolah indah dan memberikan harapan baru. Apakah demikian, ketika yang dijadikan rujukan adalah sekolah asuhannya, home schooling, yang ia klaim telah tiga belas tahun menerakan sistem itu. alumninya masuk perguruan tinggi elit dan sukses besar.

Apakah sesederhana itu? Coba melihat beberapa hal sebagai berikut.

Peserta didik HS itu cenderung kelas menengah atas, di mana sekolahnya relatif mahal, eksklusif, dan dengan rasio pendidik dan peserta didik yang jelas sangat ideal. Dengan sistem pendidikan yang demikian, jelas bahwa intensitas antarindividu siswa dengan siswa, siswa dengan pendidik jauh lebih intens dan mendalam.

Menggali persoalan dan juga potensi jelas memiliki lebih banyak kesempatan dan waktu. Interaksi yang sama susah didapat di sekolah konvensional, yang Seto Mulyadi juga bandingkan sekolahnya sendiri. Dengan capaian yang berbeda jauh. Ini sih membandingkan apel dengan duren.

Anak atau peserta didik HS itu cenderung anak-anak yang kalau bahasa Antoni de Melo anak yang bangum-sadar, di mana mereka sudah butuh untuk belajar sebagai bekal hidup. Mereka perlu sekolah dan bisa diyakini mereka ini orang tuanya tidak akan susah-susah ngoyak-oyak untuk belajar dan berangkat sekolah. Model ini di sekolah konvensional yang biasa juara ini dan itu. sekolah favorit pun cenderung demikian, alumninya banyak yang menjadi pejabat ini dan itu dan sukses.

Siswa HS juga bukan anak sembarangan, saya yakin tidak akan ada anak yang tidak memiliki uang jajan atau umbelen sekolah di HS. Ini pun akan identik dengan asrama seminari, dengan anak-anak yang sudah terpilih ketat dalam seleksi dan kemiripan tujuan bersekolah, mereka akan cenderung lebih sukses di kemudian hari. Ingat cenderung.

Anak-anak yang sadar, memiliki kelebihan, dan sudah terpilih, mosok iya di kemudian hari akan mangkrak, kan sangat kecil, dengan pendampingan intensif lagi. Jelas ini soal bekal bukan semata-mata sistemnya yang menjamin.

Sekolah Konvensional

Beberapa hal yang patut dicermati sebagai hal yang mungkin abai dilihat Seto, keberadaan murid itu  heterogen, ada yang rembes, umbelen, ada yang wangi, dan itu sangat mempengaruhi satu sama lain. psikologis mereka jelas terpengaruh. Yang umbelen bisa minder atau malah ngelunjak, yang wangi enggan bergaul dan seterusnya. Yakin pernah ada di HS? Toh umbelen dan rembes ini hanya sebentuk kiasan, adanya persoalan dari asal dan awali.

Soal niat, ada anak yang niat belajar, saya pernah menuliskan anak dengan kaos bola kaki di atas meja, dan saya ledek dengan sekolah bukan kenduri. Bayangkan sekolah model demikian, anak yag serius, guru yang setengah mati ketakutan, bisa mendidik sampai akhir tahun tampak jantungan pun sudah syukur banget.

Sekolah itu yang ideal jelas heterogen, kecuali kekhususan lho ya, jangan paksa seminari atau pesantren menerima agama lain juga. Toh seminari ada yang menggabungkan dengan sekolah umum agar perkembangan psikolgisnya lebih ideal. Ada dinamika lebih dari anak-anak heterogen, teoleran, tegar, dan kadang ngawur juga jiwa anak dan remaja itu penting.

Alasan kedua yang dikemukakan Seto adalah waktu lebih banyak dengan keluarga, beneran demikian?

Ketika sekejap mengajar saya heran, murid-murid itu tidak segera pulang. Ternyata mereka di rumah sendirian, dijemput orang tuanya usai jam kerja ortu. Yang ortunya di rumah pun demikian. Mereka meyakini di sekolah jauh lebih aman dan baik-baik saja. Padahal belum tentu juga, siapa yang menjadi pengawas mereka usai jam sekolah bukan?

Nitip ke sekolah seolah menjadi solusi jitu. Ada anak di kelas itu maunya keluar atau pulang saja, pulang bukan dalam arti pulang ke rumah, namun keluar kelas, untuk hanya duduk-duduk, bahkan ada yang nonton film porno. Ini fakta, sekolah heterogen dalam banyak sisi, tidak HS yang pasti.

Di rumah yakin orang tua bisa "mengendalikan" anak-anak seperti peserta HS? Apa yang kira-kira dilakukan di rumah? Nonton TV jelas utama, selain main HP. Televisi yang juga konvensional beneran yakin memberikan pendidikan yang ideal? Ketika menjual kemewahan, hedonisme, azab yang kadang lebay, pertikaian artis dan politik. Itu yang akan mendidik anak-anak bangsa ini.

Sebagai sebuah ide atau gagasan setuju saja, namun apakah sudah melakukan penelitian dengan jauh lebih luas dengan pendidikan sebagai seluruh anak bangsa. Latar belakang di atas tentu sangat susah menjadikan sekolah tiga hari. Orang tua saja kewalahan dengan dirinya apalagi mendidik yang berkaitan dengan kognisi.

Sedikit heran, Seto sepertinya perlu aqua melihat lontaran gagasan dengan minim data seperti itu. kebebasan peserta didik dalam arti sekolah yang menyenangkan, tidak bisa digebyah uyah begitu saja dengan parameter yang sangat minim. Tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya sekolah tiga hari itu jika benar-benar dilakukan.

Ada beberapa daerah dan suku mungkin bisa bekerja di ladang, sawah, atau kebun, namun apakah itu juga terjadi di perkotaan dan ekonomi menengah. Masih terlalu jauh daripada banyak persoalan pendidikan laainny untuk dilakukan pengajian lebih dulu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun