Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Aksi ke Delapan Ganjar Pranawa untuk SMK 2 Sragen

17 Oktober 2019   21:45 Diperbarui: 17 Oktober 2019   21:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menanti Aksi ke Delapan Ganjar untuk Oknum SMK 2 Sragen

Gegeap gempita aksi fundamentalis ternyata tidak cukup membuat jera bagi banyak pihak. Usai maraknya aksi pelaporan dan penanganan baik dari militer, ataupun sipil, Gubernur Jawa Tengah telah menangani tujuh kepala sekolah.

Tiba-tiba, 6 Oktober baru saja ada sekolah berphoto dengan membentangkan bendera yang diidentifikasi sebagai bendera organisasi masyarakat yang sudah dilarang. Cukup menarik jika demikian, karena:

Pertama, sangat  tidak mungkin mereka, baik siswa atau apalagi guru dan kepala sekolah tidak tahu arti dan keberadaan bendera hitam tersebut. Ini Sragen, bukan pedalaman yang sangat jauh dari jangkauan internet. Hanya satu jam dari Solo, kota yang cukup besar dan jaringan internet apa saja tentu sudah tersedia.

Kedua, tanggapan Gubernur Ganjar relatif cepat, bahwa ia mengaku sudah melakukan pengecekan media sosial dari keluarga besar sekolah tersebut. Ini jelas penting, karena media sosial biasanya lepas, bebas, dan tidak tidak ada yang ditutupi-tutupi, akan berbeda jika itu wawancara atau ujian tentunya.

Ketiga, jika pun jejak digital sudah dihapus toh masih bisa ditelusuri, dan pihak yang berwenang sudah pernah menyaksikan yang otentik. Ini penting, sikap cepat tanggap.

Keempat, meskipun belum mengambil tindakan, itu juga patut diberi ruang, agar tidak tergesa-gesa dan gegabah di dalam memutuskan. Paling tidak sudah melakukan tindakan dan penelitian awal.

Kelima, sangat mungin memang tidak tahu, meskipun itu sangat kecil, toh tetap saja masih ada kemungkinan demikian. Pembuktian lanjutan adalah bagaimana sikap sekolah tersebut di dalam elihat Pancasila, toleransi, dan upacara bendera, dan jangan-jangan Minggu masuk dan liburnya ganti. Ini sudah banyak terjadi.

Keenam, jika memang benar mereka paling tidak, guru satu saja apalagi jika Kepala Sekolah tau artinya apa bendera itu dan sengaja memampang, layak menyusul ketujuh kolega mereka. Hal yang tidak bisa lagi ditolerir karena demikian masih daya rusak di dalam bingkai NKRI.

Ketujuh, lagi-lagi kemungkinan, sangat kecil juga jika salah satu di antara yang berphoto itu tidak tahu makna akan bendera itu. Apalagi sedang masif-masifnya pembicaraan hal ini. Naif jika mengaku tidak tahu dan merasa baik-baik saja.

Namun sikap Gubernur Ganjar tidak gegabah itu juga memang masih bisa dinilai baik, belum masuk ranah pembiaran karena sudah melakukan tindakan pendahuluan. Memang jika diam saja tidak ada tindak lanjut, juga omong kosong jika demikian.

Pembiaran sekian lama membuat banyak kekacauan yang dipanen sekarang ini. lebih mudah menyiangi rumput ketika masih dini, dari pada sudah mengurat dan mengakar. Mengapa? Karena akar yang cukup kuat dna besar bisa merusak pohon yang kita maksudkan untuk diperlihara dan diharapkan hasilnya.

Sikap tegas itu penting, namun tidka juga ugal-ugalan. Jadi pemerintah dan pihak yang berwenang benar-benar sudah mengadakan penelitian mendalam. Bukan era otoriter yang langsung dan sewenang-wenang di dalam menyelesaikan masalah.

Bahaya nyata dan di depan mata, ketika anak-anak sekolah sudah dicekoki dengan ideologi berbangsa yang berbeda, apalagi dikemas dengan agama. Kamufllase yang sangat menakutkan, karena narasi lanjutannya adalah PKI dan antiagama jika diusut dan diselesaikan dengan penegakan hukum. Keberanian pejabat menjadi penting.

Penegakan hukum selama ini masih mendua. Tidak tegas dalam arti yang sesungguhnya. Mengatakan tidak tahu, meminta maaf, dan kemudian menandatangani surat pernyataan selesai. Dan kenyataannya itu akan terulang terus menerus. Mengapa begitu juga didiamkan saja?

Keteladanan. Elit dan para tokoh bangsa melakukan yang sama. Penyelesaian yang sama menjadi pembenar bagi kalangan bawah untuk ikut-ikut. Bedakan ranah spiritual seperti maaf dan ampunan dengan penegakan hukum. Dua kondisi yang berbeda.

Perilaku para penganut paham ini adalah yang penting hasilnya. Soal proses, termasuk berbohong, janji palsu, merasa tidak tahu, dan kemudian mengulangi bukan hal yang tabu. Lihat dan cek saja, mereka ini akan demikian terus, dan pelaku yang biasanya berurusan dan tidak ditangani dengan baik akan terus berbuat yang identik.

Pribadi-pribadi tidak taat azas dan konsensus. Jangan lupa jika kepala sekolah, guru, dan juga tenaga kependidikan yang lain telah bersumpah dan atau berjanji setia pada Pancasila dan UUD '45. Nah ketika memiliki keyakinan dasar negara yang berbeda tentu mereka telah melanggar sumpah mereka yang paling dasar.

Pembiaran perilaku bebas dengan mengatasnamakan demokrasi juga jelas salah satu hal yang paling fatal. Di mana bebas itu juga ada batasnya. Mana ada makar, merendahkan pemimpin bangsa, merendahkan simbol-simbol berbangsa dianggap sebagai kebebasan. Itu jelas pemahaman untuk membela diri semata.

Saatnya bersih-bersih yang sebenar-benarnya. Bukan hanya jargon dan hangat-hangat tahi ayam. Bangsa ini sudah terlalu lama membiarkan adanya anak ular  hidup bersama dengan belut. Mmebelit dan meracuni banyak anak negeri ini dengan dalih demokrasi.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun