Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Isolasi" Jokowi, Mendekati Pusatnya

7 Oktober 2019   11:36 Diperbarui: 7 Oktober 2019   12:04 1878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isolasi Jokowi, Mendekati Pusatnya

Siapa sih yang tidak paham politik bangsa ini yang cenderung elitis, feodalistik, dan hanya segelintir pihak yang bisa ada di pusat dan puncak sana. Partai politik sangat sarat dengan muatan itu. Militer, birorkrat, dan penguasa level nasional dan internasional yang bisa mencapai kekuasaan itu.

Demokrasi yang  menjamin kebebasan pun susah payah untuk berdiri. Sandera menyandera terjadi. demi kekuasaan bisa "digilir' di antara mereka. Satu pihak suka akan jenderal, pihak lain seneng penguasa kaya raya yang menjadi pemimpin, demi amannya logistik dalam banyak hal. 

Ada pula yang memilih untuk memberikan keyakinan pimpinan itu kalau hasil trah, atau keturunan. Mirip-mirip dengan kerajaan begitu. Dan itu masih kuat.

Reformasi yang hampir seperempat abad belum memberikan dampak yang signifikan. Ketika presiden bukan militer, keadaan stabilitas keamanan relatif stabil. Ingat ini bukan mengatakan militer yang mengacau keadaan. Tidak sama sekali. 

Namun bukan menjadi bagian pembicaraan artikel ini.  Gonjang-ganjing apapun dilakukan demi keadaan politik tidak bisa tenang. Isu ataupun fakta yang diputarbalikkan menjadi sebuah gaya berpolitik ual-ugalan.

Lebih parah ketika ada sosok Jokowi yang tiba-tiba saja merangsek naik pada tataran elit, bukan orang elit partai politik, bukan pula anak penggede negeri, tidak berasal dari kalangan pengusaha kelas kakap dan level internasional. Ternyata membawa banyak dampak dan cara bersikap elit.

Partai Politik dan Elit

Suka atau tidak, rela atau berat hati, parpol toh terjadi daan dibangun oleh "dinasti", atau "kepemilikan" pribadi-pribadi, beberapa memang sudah mulai demokratis, siapapun boleh  menjadi penguasa atau ketua apapun istilahnya. Namun tidak bisa begitu naif mengatakan sudah membiarkan kualitas dan prestasi yang menjadi jaminan untuk bekerja dan memimpin.

Kecenderungan trah, nama besar, dan kekuatan finansial menjadi penentu. Lihat Golkar yang sudah lebih demokratis, siapa saja menjadi ketua umum, toh cenderung pengusaha kelas kakap yang silih berganti memegang kendali. Partai lain masih cenderung keturunan atau darah. Ini fakta.

Parpol malas dan  enggan kerja cerdas memilih orang populer untuk diusung menjadi celeg atau cabup-cagub. Nama-nama yang bagi elit bukan siapa-siapa, namun mengantar pada kekuasaan. Mereka kaget ketika si bukan siapa-siapa malah mencapai kedudukan presiden.

Artinya, bahwa masih susah orang "biasa" rakyat kebanyakan menjadi pimpinan parpol apalagi menjadi pimpinan daerah dan pusat, apalagi semua harus lewat parpol.

Logika sederhananya, jika memang asalnya adalah dari parpol, usungan parpol, keberadaan presiden sepenuhnya didukung oleh parpol. Memang Jokowi separo parpol jadi seolah parpol tidak merasa memiliki Jokowi, berbeda dengan SBY dengan Demokrat periode lampau. Apapun kata SBY, Demokrat akan  mengawal, mendukung, dan mengawal sehingga SBY bisa penuh daya, bandingkan dengan Jokowi.

Jokowi yang Bukan Siapa-siapa

Semua paham, Jokowi bukan anak kolong, apalagi anak jenderal, bukan juga jenderal. Pengusaha pun kalah kelas jika dibandingkan dengan Abu Rizal Bakrie, Senov, JK, atau Uno dan keluarga. Ia bukan kaliber itu. Kesederhanaan, ketekunan, kehendak baiknya menjadikan ia presiden. berangkat dari walikota di daerah sukses membangun dengan ala kerakyatan, masyarakat tersapa, kemudian partai menarik dan meliriknya ke Jakarta.

Ingat parpol yang membawa, namun rakyat yang membesarkan. Reputasi di Solo kemudian memoncerkannya juga di Jakarta. Memang kehendak Tuhan yang terjadi, ketika suka atau tidak Jakarta amburadul dalam banyak hal, satu demi satu dibenahi. Kolaborasi dengan Ahok sukses dalam banyak hal dan segi.

Lagi dan lagi parpol memromosikannya menjadi capres dan menang. Parpol mendapatkan keuntungan, namun apa yang mereka buat? Boneka partai, petugas partai, sendirian menghadapi tekanan, bahkan fitnahan sekalipun. 

Pernah tidak ada jawaban seperti Ruhut membela SBY? Benar, Ruhut pun lebay dan tidak elok, namun juga perlu. Tidak perlu sevulgar Ruhut juga, namun jangan biarkan dihantam dengan seenaknya saja.

Pegiat media sosial.

Pembelaan itu pegiat media sosial, baik yang ribuan pengikut atau jutaan, hingga yang receh. Pembelaan atas perilaku ugal-ugalan oposan, lembaga yang mati kutu, ataupun media yang semua paham kog mana yang memberikan kritik mana yang waton sulaya. 

Dan baik parpol, kabinet, atau dewan diam seribu bahasa. Satu dua yang berbicara yang tidak cukup signifikan membendung kenyaringan suara sebelah.

Kini, ketika pegiat media sosial mendapatkan label buzzer, pelaku bayaran untuk memberikan pembelaan bagi parpol atau pemerintah, dan itu membuat  tidak nyaman, bahkan takut. 

Sudah habis sudah pembela Jokowi dalam konteks memberikan dukung moral, sokongan semangat, memberikan jawaban dan mematahkan nyinyiran oposan tidak bertanggung jawab.

Jelas parpol sudah bisu, kekuatan akar rumput pun diserang habis-habisan.  Jika para pelaku, sukarelawan pun ketakutan atas label itu, habis sudah kekuatan Jokowi yang berasal dari luar. Ia akan sendiri, terisolasi dengan dukungan terkakhirnya.

Dukungan itu beda dengan kultus, beda dengan membenarkan semua apa yang dilakukan oleh Jokowi. Membenarkan yang keliru, atau sebaliknya menyalahkan yang sudah diputuskan itu tidak sepatutnya. 

Memberikan dukungan itu tidak menyalahkan ketika salah namun memberikan sokongan moral agar bisa memperbaiki kesalahan. Memberikan kritik yang solutif dan membangun itu menjadi hal yang penting.

Memang selama ini ada yang tidak lagi rasional. Menilai sosok berlebihan dan tidak proporsional. Ini masalah, persoalan juga ketika orang menjadi ketakutan ketika mau memberikan dukungan, cemas dengan label dan tudingan yang bisa sangat membuat orang gamang.

Keputusan dan pilihan ekstrem Jokowi memang membuat gerah banyak pihak. Para pendukung yang selama ini melakukan dengan kerelaan dalam berbagai cara, tidak perlu khawatir dan menjadi takut. Jika takut, ya sukses isolasi Jokowi dari sokongan energi yang ada.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun