Media sosial yang lebih "menjual" kecepatan, soal ketepatan bisa nomor sekian, berbeda dengan media yang perlu editor, cek dan ricek yang mendalam menjadi pembeda.
Kolaborasi antara pelaku media yang ingin cepat dengan para pelaku media sosial sehingga mendapatkan asupan materi, dengan secepat itu masuk menjadi konsumsi publik, sangat  mungkin. Nah, ketika diangkat dalam media sudah kehilangan kehangatan dan real time-nya.
Toh tidak banyak juga pelaku media sosial yang bisa eksis "bersaing" dengan media arus utama, baik cetak atau online. Ini mekanisme pasar, ketika memang menarik, menyajikan data yang akurat, cepat, tepat, dan orisinil akan menjadi rujukan dan ramai pengikut dan penikmat.
Celah yang menguntungkan buzzer ini kan karena mekanisme yang seharusnya dilakukan partai politik dan media malah disalahgunakan. Jangan marah pada buzzer dan pegiat media sosial jika mereka mengambil alih.
Toh buzzer juga tidak akan "laku" jika mereka tidak mampu mengemas isu, narasi, dan fenomena yang ada dengan tepat. Sejatinya ini adalah kritik bagi media juga parpol untuk bisa menyajikan tanggapan atas keadaan dengan kreatif, akurat, dan tepat guna.
Bagaimana Zon, Fahri, dan kawan-kawan bisa menari sendirian dan Jokowi jelas "tidak" berdaya karena energinya untuk mambangun, tidak penting memang "melawan" nyinyiran, namun tidak pas juga bila dibiarkan.Â
Celah inilah yang dimainkan para pegiat medsos, apakah bayaran atau tidak toh bisa dicek, mana orang bayaran, mana orang yang mengemukakan pendapat dengan dasar kepentingan atau kebenaran.
Lagi-lagi, ini adalah kemajuan teknologi yang tidak siap dihadapi oleh sebagian anak bangsa. Di sisi lain ada yang memperoleh manfaat dari sana. Politik dan fenomena yang bisa menjadikan orang atau kelompok besar, logis jika ada yang mengempis, atau bahkan melayang.
Terima kasih dan salam.