Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi UU KPK dan Integritas

18 September 2019   10:45 Diperbarui: 18 September 2019   10:53 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Integritas dan Revisi UU KPK 
Pekan pertama September  media baik sosial ataupun arus utama cenderung heboh dengan rancangan rivisi UU KPK yang diinisiasi oleh dewan.

Pro dan kontra sangat heboh. Berbagai-bagai cara dan upaya dilakukan baik oleh pendukung atau penolak revisi, apapun alasan dan motivasinya. Mulai wadah pegawai, komisioner, baik baru atau lama, mahasiswa, pegiat sosial ataupun antikorupsi mengeluarkan pernyataan.

Panas yang bisa mengalahkan panasnya kebakaran hutan itu tiba-tiba menjadi begiti antiklimaks, seolah kayu membara diguyur air es segentong. Senyap, dan ketok palu, revisi RUU sudah sah menjadi UU. Dalam hitungan jari tambah satu jari kaki satu selesai.

Coba dewan dan birokrasi juga sedemikian cepat mengatasi masalah-masalah lain. Bangsa ini sudah jauh unggul di dunia ini.

Beberapa persoalan sejatinya tidak perlu sampai ada panas-panasan revisi, jika memang mau berkomitmen dan memegang teguh sumpah dan janji jabatan.

Mengenai isu pegawai dan wadahnya yang menguasai, atau ada indikasi oknum yang mendominasi, kembali sumpah jabatan dan janji sebagai aparat negara yang diabaikan. Lagi-lagi soal integritas dan kualitas kepribadian.

Bangsa ini memang masih jauh dari harapan jika berbicara kualifikasi integritas. UU yang begitu banyak adalah gambaran soal keteraturan yang masih dipaksakan. Lihat saja mengenakan helm dan tertib berlalu lintas hanya karena takut polisi. Kesadaran dan kebutuhan untuk tertib hidup bersama masih terlalu jauh.

Keakuan masih dominan, dan itu sering menjadi masalah ketika berkaitan dengan hidup bersama dengan keakuan yang lain. Konsensus dan komitmen  hidup bersama masih perlu perjuangan.

Isu dan dugaan penyadapan yang melebihi wewenang dan tugas, jika sudah memiliki integritas sejatinya tidak perlu pengawas. Pengawasan diri, ketika orang malu berbuat salah, namun bangsa ii memiliki kecenderungan berani dan takut, bukan malu.

Di sinilah persoalan itu, bukan soal pengawas atau tidak. Apalagi jika mengaku beragama. Toh ada pertanggungjawaban kepada Pencipta.

Selama ini sering narasi revisi UU KPK berkutat pada sosok NB saja. Mengulik perilaku satu orang ini dengan segala opini dan terkadang othak athik gathuk, namun belum ada pelaporan kepada pihak manapun. Lagi-lagi ini soal taat hukum dan azas. Coba laporan kepolisian atau laporan kepada penasihat sudah ada belum?

Sama juga dengan opini Firli sebagai ketua KPK terpilih melakukan pelanggaran etik berat. Semua masih klaim dan selalu tidak ada tindak lanjut. Ini sekelas opini, bukan faktual yang sering menjadi senjata untuk menjatuhkan lawan dan menaikan kawan.

Sama juga dengan kasus Abraham Samad dan BW. Pun kasus Antasari Azhar juga tidak ada kejelasan. Mana yang benar dan mana yang salah. Semua tidak ada kejelasan. Hujat menghujat dan dukung mendukung, aslinya seperti apa, juga tidak paham kok.

Kebenaran, separo benar, atau salah masih sama-sama tidak jelasnya. Ini juga penyakit, saling sandera dan labeling atas opini yang sudah terbentuk itu lekat. Penegakan hukum sumir, lagi-lagi ini soal integritas.

Posisi KPK yang bermasalah itu sejatinya yang bisa menjadi titik poin untuk perbaikan. Angka korupsi yang tidak beranjak jauh dengan anggaran dan masa kerjanya yang sudah demikian lama, itu menjadi fokus utama.

Penyelesaian kasus korupsi yang tidak jelas dan berhenti pada beberapa pihak, bukan menyelesaikan dengan menyeluruh ini  masalah. mengapa malah melebar ke sisi pribadi perpribadi?  Jika demikian akan lagi lahir dalih dan perang opini yang tidak berubah. Akan selalu demikian.

Kapan sih berbicara KPK termasuk pilihan komisioner tidak didahului dengan sikap pesimis, mengulik pribadi mereka dengan berlebihan. Dan ketika ada masalah tidak pernah diselesaikan. Lagi-lagi ini adalah sikap mental, integritas, dan reputasi.

Dewan kebetulan yang mengajukan inisiatif. Lagi-lagi juga menjadi masalah, karena opini publik sudah yakin bahwa mereka tidak memiliki cukup integritas yang bisa dipercaya.  Para pelaku di dalam dewan banyak yang tersandung kasus, mereka potensial berkasus. Kinerja rendah, dan tiba-tiba bisa membuat UU dalam waktu super singkat.

Persoalan itu bukan pada revisi, bukan pada siapa yang berinisiatif, dan bukan pula bahwa ada taliban atau tidak, namun integritas para pelakunya. Semua mengaku beragama, memiliki Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan bertindak sebagai lembaga. Pribadi beriman yang percaya akan alam maut dan akherat. Namun perilaku ugal-ugalan, malas-malasan, dan juga mengelabui aturan seolah biasa saja.

Apa yang bisa dilakukan? Kembali kepada profesionalisme, di mana bekerja seturut aturan, tidak menafsirkan seenaknya sendiri. Tidak pula menyampuradukan apapun dengan politik dan agama. Jika ini dilakukan dengan lebih baik, harapan kondisi berbangsa lebih bermartabat lebih cepat tercapai.

Komitmen dan taat azas dalam segala bidang. Eforia reformasi perlu disudahi. Jangan asal waton sulaya saja yang digedein, namun kinerja demi bangsa dan negara juga perlu diupayakan.

Pendidikan kritis bukan semata hapalan perlu menjadi  model dan pendidikan yang mendidik anak bangsa. Keteladan elit yang baik bisa diserap dan meninggalkan contoh buruk dari para elit bisa dilakukan secara spontan oleh generasi muda.

Peran agama menjadi sentral, bukan hanya kalau penistaan dan pelecehan saja mengaku beragama. Namun abai akan integritas dan komitmen laju saja seolah biasa saja.

Kini bukan lagi soal dukung atau tidak, atau setuju atau tidak, semua sudah terjadi, baik dan buruk perlu diapresiasi bagi negeri yang lebih baik. Masih ada dan cukup banyak pribadi berintegritas. Kalau orang sempurna sampai lebaran kuda juga tidak akan ada.

Terima kasih dan salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun