Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sandiaga Uno Calon Ketum PAN dan Tommy Soeharto, Gambaran Gagalnya Reformasi Politik

27 Agustus 2019   08:22 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:30 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin terkecoh pembahasan di dunia media sosial, ketika ada yang membagikan tautan mengenai Tommy Soeharto, ternyata kejadian hampir setahun lalu. Namun menarik apa yang dikatakan itu, toh layak dijadikan ulasan, betapa generasi menengah saja gagal seperti itu.

Sorenya membaca adanya kemungkinan Sandiaga Uno menjadi ketua umum PAN. Partai satu ini harusnya adalah pionir reformasi, reformis yang radikal, karena anak kandung reformasi. Nampaknya jauj dari harapan, usai 20 tahun lebih ini, perilaku mereka tidak jauh lebih baik dari parpol kuno lainnya.

Tommy hampir setahun lalu mengatakan, jika pembangunan bangsa ini tidak akan terjadi jika menggunakan trilogi pembangunan, ala bapaknya. 

Stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan. Mau ngakak dulu silakan, karena memang sangat lucu bahkan maaf naif. Ia bukan politikus, namun anak ingusan sok molitik. Isu kekinian saja tidak paham.

Stabilitas nasional sepakat, namun toh semua juga paham, siapa-siapa yang mengusik air keruh terus menerus. Persoalan kecil dibesar-besarkan, menciptakan pro dan kontra pada hal-hal yang remeh temeh. Memang ini konsekuensi demokrasi yang tidak cukup dua dasa warsa untuk bisa dewasa.

Ingat Orba stabilitas ditegakkan dengan moncong senjata, ABRI menjadi segala-galanya. Demokratisasi tidak bisa sama dengan otoriter. Penegakan hukum pun masih bisa dibeli, siapa yang merusak dan membuat tatanan amburadul coba?

Pertumbuhan ekonomi tinggi, ya iyalah karena semua dikontrol dari satu tangan besi kog. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang semu, karena toh rakyat keadaannya sama saja. Elit memang mendapatkan keuntungan lebih. Mirisnya, Tommy malah menuding pemerintahan kini yang berlaku demikian.

Korupsi pun ia nyatakan sebagai lebih masif. Ya iyalah masif karena semua orang bisa maling, kalau dulu, garongnya Cuma satu, lainnya hanya mendapatkan kepyuran jagung ala memberikan makan ayam. Apalagi dulu tidak ada koruptor yang ditangkap jadi tidak kelihatan masif. Sekarang coba buktikan asal usul kekayaan yang sampai lebihd ari tiga besaran APBN itu, bisa tidak?

Pemerataan pembangunan, lucu juga, ia ke Papua, dan apakah tahu zaman bapaknya Jawa saja jauh dari nafas pembangunan. Jalan tol saja hanya berapa ruas. Benar memang dulu belum demikian mendesak, namun perlu juga tahu lah, ke mana uang itu. Dan pemertaan seperti apalagi yang Tommy mau.

Apa yang ia nyatakan itu adalah buah reformasi, di mana bisa berbicara sekehendaknya tanpa takut akan hilang atau dibui. Namun sayang bukan dalam konteks kekinian dan kebenaran yang hakiki, hanya klaim sepihak, picik, dan ala kadar. Pokok bicara soal benar bukan pertimbangan.

Ia bukan generasi tua, bukan pula muda, menengah, masih jernih, masih tahu android, masih paham dunia digital, bukan generasi tua yang mengandalkan sejarah saja. Pun bukan generasi muda yang interaktif, cepat, dan tanggap kemajuan. Sayang era emasnya tidak dibarengi dengan pembelajaran yang layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun