Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Yasona, Enggar, dan Latar Belakang Ini Tinggal Saja Presiden!

12 Agustus 2019   08:16 Diperbarui: 12 Agustus 2019   08:38 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Yasona, Enggar, dan Latar Belakang Ini Tinggal saja Presiden!

Pak Jokowi pernah mengatakan periode kedua ini sudah tidak memiliki beban. Karena tidak ada lagi pemilihan yang bisa diikuti. Suka atau tidak, periode satu untuk bisa menjabat pada periode dua perlu hati-hati dalam bersikap. Apalgi label antiagama tertentu dan pelaku kriminalisasi tokoh agama, dan PKI demikian kuat.

Sah-sah saja sebagai politikus untuk hati-hati. Ingat Ahok yang malah akhirnya menjerumuskan Jakarta karena pendekatannya yang tidak hati-hati. Namanya politik, apapun bisa dilakukan dan terjadi. pengalaman berharga.

Nah pernyataan tidak punya beban ada pada salah satunya poin ini. Pembangunan infrastruktur telah berjalan sebagaimana mestinya. Program, angan-angan, dan rencana itu telah terwujud, dan tentu akan berlanjut untuk ke depannya. 

Kini saatnya membangun manusia, karakter bangsa, dan tertib hukum menjadi prioritas. Seolah masalah klasik bangsa kemarin belum sepenuhnya terurus dengan baik.

Terorisme memang berkurang jauh, namun bahwa perilaku intoleran yang juga bagian dari sel terorisme masih cukup menggejala dan kuat. Memang ini adalah penyakit masa lalu yang kini masih kuat mendera. Pembubaran ormas Antipancasila pun masih belum menemukan dampak signifikan, malah seolah balas dendam dan berlaku seenaknya sendiri.

Korupsi pun demikian, memang ini penyakit akut. Sekian puluh tahun berkeliaran seperti tikus yang menguasai lumbung pangan. Mereka malah bergolak dan melakukan perlawanan. Penangkapan demi penangkapan, namun dampak efek jera masih lemah karena kuatnya permainan politik tikus yang masih kuat.

Permusuhan pada KPK, hambatan penegakan hukum atas nama korps, perlawanan dewan, dan sebgala jenis musang berbulu domba untuk mengelabui agar dapat maling. Berbagai upaya dilakukan toh masih juga bobol. Perbaikan sudah ada, namun masih perlu lebih giat dan galak lagi.

Birokrasi malas dan lelet jangan dianggap sepele. BPJS, BUMN, dan berbagai-bagai perilaku feodalisme dan kong kalikong antarlembaga dan pengusaha masih cukup kuat. Benar sudah ada perbaikan, namun apakah itu cukup? Sama sekali belum.

Beberapa alasan susahnya perbaikan adalah, mentalitas pejabat dan hukum yang disusun oleh para pelaku yang sakit dan kotor. Ini serius, mereka sudah menyiapkan lobang-lobang penyelamatan, yang sangat merugikan bangsa dan negara.

Nama berikut seolah menjadi penghambat bukan katalis bagi perbaikan negeri;

Yasona Laoli.

Menteri di bidang hukum dan HAM ini susah diajak untuk kedua kalinya. Bagaimana napi dan lapas menjadi sarang penyamun bukan untuk bertobat namun mengulang bahkan lebih parah lagi perilakunya. Pembenahan hanya di depan media, faktanya nol besar. Tidak ada perubahan signifikan dari pemerintahan yang lampau.

Dalih kelebihan kapasitas terus menerus. Itu bukan jawaban, itu ngeles. Buat apa kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan namun kalah oleh maling? Dalih yang tidak bermutu.

Setnov dan maling berdasi lain bebas, leluasa, dan bisa berlaku apa saja. Lha apa bedanya di lapas dan di hotel jika demikian? Benar bahwa penjara bukan balas dendam, namun tentu pengekangan kebebasan itu konsekuensi logis atas tindakan melanggar hukum. Jangan malah atas nama HAM kemudian melanggar HAM publik.

Enggar

Menteri yang mengurusi hajad hidup orang banyak dengan perdangan negara. Jaminan stabilitas harga dan produk yang menyangkut kepentingan dasar seolah salah urus. Masih saja naikturunnya harga dikuasai mafia di mana-mana. Buat apa jargon kerja kerja kerja, jika pola lama masih identik. Sama sekali tidak ada perbedaan dengan pemerintahan yang lalu.

Di ujung masa pemerintahan pun rekan kerja di dewan terkena OTT. Sangat susah jika mengatakan kemendag tidak terlibat. Impor yang bisa melakukan kementrin, dewan pastinya hanya akan membeikan lampu apa untuk itu. 

Ketika tukang lampu menerima uang, tentunya perlu yang menjalankan kemudi. Memang tidak sampai menteri, sampai hari ini, namun perilaku korup ini masih saja terjadi, tidak berbeda dengan yang lalu-lalu.

Fundamentalis dan Kelompok Intoleran

Jangan membawa penganut paham ini dalam pemerintahan mendatang. Penyakit akut yang berbahaya, jangan lagi perpanjang nafas mereka. Rekomendasi NU dan Muhamadiyah sejak 2009 dengan buku Ilusi Negera Islam Indonesia, perlu penegakan yang semestinya. Pembiaran selama ini telah merusak sendi berbangsa yang telah diupayakan terus menerus.

Bagaimana tidak semua elemen bangsa termasuk militer ada 3% terpapar ideologi ini, kepolisian belum merilis, karena angkatan muda pun telah memahami ideologi yang tidak tepat itu sebagai kebenaran. ASN, padahal merekalah yang menjalan roda berbangsa yang berdasar Pancasila. Sumpah dan janji jabatan mereka mana jika demikian?

Paling memilukan perilaku munafik mereka dengan model melacurkan ideologi, kamuflase, mimikri ala bunglon. Istilah bagus, isi busuk, tidak menjadi soal. Tampilan sok Pancasilais, namun menawarkan model dan ideologi berbeda.

Tidak akan mudah memang  membersihkan kerak pada kulit karena sekian lama tidak pernah dibersihkan, kalau mau bersih pun risiko luka bisa terjadi. Dan  sikap sampai hati menjadi penting, demi bangsa dan negara ini.

Memiliah dan memilah dengan benar, mana yang benar dan sejati atau hanya KW, di mana orang bisa berlaku seolah-olah. Ini menjadi penting, karena sekian lamanya mereka sudah meruyak dan masuk ke dalam sendi-sendi hidup bersama secara dalam.

Perlawanan akan terjadi, namun jika dengan pejabat yang memiliki visi dan misi yang sama, sangat mungkin bisa diatasi penyakit bangsa ini. Usai  pembangunan masif infrastruktur, saatnya membangun manusia yang beradab dan memiliki kesetiaan akan komitmen dan konsensus.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun