Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lidah Mertua Memang Tajam Gubernur Anies!

24 Juli 2019   08:11 Diperbarui: 24 Juli 2019   08:38 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lidah Mertua Memang Tajam Gubernur Anies

Jakarta sedang memanas terus menerus, hidup dengan dinamika politik yang belum usai dengan keberadaan kepemimpinan yang sama-sama dipahami. Selesai dengan karya seni penuh kontroversi getih getah, begitu beragam tanggapannya dna juga reaksinya. Lahir gagasan dan polemik baru.

Salah satu yang dikatakan sebagai alternatif atas beaya mahal adalah anggaran itu untuk membeli lidah mertua, agar memperbaiki kualitas udara. Soal ini pembahasan nanti saja. Seolah responsif dengan ini Gubernur Anies langsung mewacanakan membeli tanaman itu untuk membuat Jakarta lebih segar.

Film kuno Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibukota, yang mau menggambarkan Jakarta itu kejam dan keras, bahkan dengan ibu tiri pun lebih kejam Jakarta, ini film komedi jangan dikatakan menistakan ibu kota dan ibu tiri, kini kalah kejam dengan lidah mertua.

Apa yang terjadi nampaknya ada hal yang patut dicermati, bahwa pola pemikiran Anies cenderung,

Pertama, reaktif namun malah lebih parah. Seperti orang yang kehausan di lautan meminum air laut. Jelas saja malah menambah haus. Padahal bisa melalkukan upaya lain yang bisa menguraangi rasa haus itu. kalau tidak percaya baca novel Phi, atau menonton filmnya. Beberapa kali reaktif namun miris sebenarnya, apalagi doktor Amrik lagi.

Beberapa waktu lalu, ada laporan kualitas udara Jakarta termasuk paling buruk di dunia. Tidak mendengar ada upaya menekan angka penghasil polutan, namun malah membeli alat untuk memberikan laporan dengan akurasi lebih  baik. Tidak menjawab persoalan. Pembelian dan wacana lidah mertua ini pun demikian.

Kedua, kecenderungan yang menghasilkan proyek. Udara kotor bukan mengurangi pengotor namun beli pembaca ukuran kekotoran.  Ini proyek, membeli lidah mertua, proyek juga. Belum ada gagasan lebih baik untuk menghasilkan udara yang lebih baik.

Pembatasan kendaraan malu karena sama dengan pendahulunya, yang hendak ia rombag dengan maaf ketololannya. Atau ruang terbuka hijau, lagi-lagi sama gagasan lama yang sudah ada. Padahal tidak susah jika mau sedikit kerja keras. Berbeda kalau memang fokusnya itu proyek.

Ketiga, kecenderungan responsif reaktif itu menimbulkan polemik dan masalah. Jelas soal  alat ukur kualitas udara orang jadi bertanya-tanya lho ada apa ini? Kan bisa iya nanti kami bicarakan lebih dalam dan ini persoalan bersama kita.

Lidah mertua, malah jadi olok-olokan karena ternyata efektif untuk dalam ruangan. Belum ada kajian yang lebih jauh jika untuk luar ruang. Apalagi jika tingkat polutan seperti itu, sedang tanaman ini adalah tanaman rendah apa iya mampu mengatasi? Akan berbeda jika tanaman besar dan rimbun. Lagi-lagi kaitan dengan ruang terbuka hijau.

Keempat, sikap yang diambil dalam banyak kasus malah makin membuka kualitas Anies sebenarnya. Sayang  orang yang pandai berwacana dan beretorika seperti itu tidak dibarengi dengan sosok wakil yang cerdas dalam eksekusi dan mengambil keputusan dengan sigap dan cepat. Duet maut yang perlu. Satu banyak ide dan gagasan, ada yang  membuat itu menjadi kebijakan.

Kelima, keberadaan wakil gubernur menjadi penting, melihat reputasi dan rekam jejak Anies yang makin parah demikian. Ini bukan soal Anies menjadi rising star menjadi capres atau apa, namun demi Jakarta yang lebih baik. Jakarta jangan jadi korban oleh perilaku gagal dan atas nama dan penegasan kemenangan yang oleh pelakunya sendiri jelas tidak nyaman menerima.

Keenam, Anies tahu dengan baik, bahwa kemenangannya itu bukan hasil kerja keras dan kerja cerdas. Terlihat dari pola pikirnya yang kacau balau seperti ini. Ada masalah ketika level strata tiga luar negeri lagi namun ide dan gagasan saja lemah begitu.

Ketujuh, apakah ini sebuah kampanye, mau cemar asal tenar? Sangat kecil kemungkinannya. Masyarakat lebih panai, ke depan semakin cerdas. Dan 2017 sebagai tragedi demokrasi sudah dijawab dengan pilpres 2019 selesai.  Lemah keyakinan pola pendekatan populisme cemar ini.

Apa yang sebaiknya dewan dan partai politik Jakarta, kemendagri lakukan?

Satu, secepatnya mendesak partai politik pengusung untuk menyiapkan pengganti Sandiaga Uno, atau menggembalikan Sandi untuk jabatan wagub. Gubernur sendirian jelas kewalahan, masuk suka blusukan iternasional lagi.

Dua, segera melakukan konsolidasi bersama wakil gubernur sehingga bisa bekerja lebih baik lagi, bukan masalah menciptakan kelucuan dan kontroversi terus menerus. Jakarta itu pernah maju, jadi tolok ukurnya jelas. Berbeda ketika belum tersentuh gubernur yang lalu-lalu, mungkin tidka terlalu jelas seperti apa.

Polemik blusukan ke luar negeri, banjir, atau penanganan kali itu hanya sebagian masalah, jauh lebih penting itu jabatan wakil gubernur Jakarta. Mengapa penting? Kalau gubernurnya pergi masih ada yang menangani pemerintahan, jika ada yang aneh dari gubernurnya, masih ada harapan wakilnya lebih baik.

Lidah mertua, membuka  mata banyak pihak, kualitas menantu, eh gubernur Jakarta seperti apa. Saatnya membangun bukan beropini murahan. Kemendagri perlu menekan dewan dan parpol untuk segera memproses pengangkatan wagub agar efektif dan efisien.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun