Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Muhaimin Iskandar dan Kabinet

4 Juli 2019   10:40 Diperbarui: 4 Juli 2019   11:58 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Santer  soal isu kabinet mendatang, nama ini dan itu akan menjadi menteri ini atau menteri itu. Dulu, era Pak Harto, di mana alat komunikasi adalah telpon rumah, ada kebiasaan menunggu telpon dari istana. Iya, PakHarto akan menelpon anggota kabinetnya, tidak akan ada yang melepaskan kesempatan itu.

Orang yang  sering masuk TVRI, pemberitaan koran, dan anggota apalagi elit Golkar pasti banyak yang GR dan selalu di samping meja telpon. Anaknya yang sedang ada PDKT bisa kering dalam kerinduan, HP belum ada, jadi satu-satunya itu.

Zaman Pak Beye beda lagi. Era di mana banyak audisi mencari bibit-bibit artis, penyanyi, bahkan pelawak, eh kabinet pun demikian. Dipanggil satu persatu, ada tempat untuk menyatakan sepatah dua patah kata, sebelum dan seusai berbicara di dalam "istana" pribadi SBY. Hampir semua yang dipanggil audisi  lolos, hanya satu dua yang ternyata tidak lolos dan dilantik.

Pertunjukkan yang  apakah berkorelasi dengan kualitas dan prestasi kabinet, toh semua juga tahu seperti apa warna dan capaiannya. Itu sudah lewat.

Kini gaya berbeda ala presiden Jokowi. Keberadaan ponsel jelas sangat memudahkan komunikasi, sehingga bisa sangat private. Tidak heran ketika tiba-tiba saja ada nama-nama yang banyak orang tidak duga, seperti Menteri KKP Susi Pudjiastuti di hampir lima tahun lalu. Kerja di dalam senyap, isu ini dan itu juga relatif sepi.

Pemilihan cawapres kemarin pun demikian. pihak-pihak yang terkait pun kaget. Menit terakhir ada perubahan yang sangat signifikan. Dan itu jelas karena pertimbangan masak dalam banyak segi dan kepentingan yang jauh lebih besar.

Pembicaraan kabinet yang seyogyanya profesional, atau para bos partai politik saling intimidasi soal jatah masing-masing, jelas hal yang wajar dan lumrah, toh gawe orang politik memang. Mau profesional atau politik, atau campuran dengan perhitungan berbagai macam, kembali itu adalah hak presiden terpilih, tentu dengan wakilnya sebagai satu paket.

Ada pula yang cukup menggelikan, ketika yang kemarin berkompetisi, menjadi rival, banyak pula yang memberikan kode cukup terang-terangan untuk ikut dalam gerbong yang sama. Penolakan karena kemungkinan "jatah"nya berkurang jelas wajar jika yang bekerja keras dalam satu jalur merasa sewot.

Lucu juga sebenarnya ketika kampanye menjelek-jelekan, kini mau mendukung yang pernah ia serang baik program atau pribadinya bahkan. Tapi itulah dinamika birokrasi bangsa ini, masih perlu banyak belajar.

Salah satu nama yang cukup menarik perhatian adalah Muhaimin Iskandar. Masih cukup muda, tapi liat dan ulet bak politikus senior. Licin dan cerdik, bahkan almarhum Gus Dur yang demikian piawai bisa ia "kadalin." Sangat menarik satu nama ini, dengan sangat percaya diri mendeklarasikan sebagai bakal calon wakil presiden, jauh sebelum masanya.

Di mana-mana baliho dirinya sebagai cawapres 2019 lebih dulu dari pada Sandi sekalipun. Cukup percaya diri. Bahkan sangat percaya diri. Jokowi cerdik memanfaatkan keberadaan politikus ini, dibawa dalam beberapa acara, tampilah kualitas Imin yang mendasar.

Gertakan untuk membangun poros alternatif jika bukan dirinya dari PKB yang digandeng untuk menjadi cawapres, sisi lain ada juga Romi dengan penuh percaya diri juga menempel presiden.  Baliho tidak sepede Imin dipajang Romi, namun jelas terbaca ke mana arah dirinya itu.

Kardus duren menjadi catatan yang perlu menjadi perhatian besar, dengan keberadaan Idrus Marham dan Romi kena cokok KPK. Benar bahwa itu masa lalu, apalagi jika dalam isu yang santer beredar memegang kementrian BUMN. Apa kinerja BUMN dan kementriannya juga banyak yang paham seperti apa.

BUMN belum berjalan sebagaimana idealnya. Badan yang harusnya membantu memberikan pemasukan bagi negara, selama ini masih banyak yang rugi. Rugi bukan karena tidaklayak jual, kerja sosial, atau menyubsidi rakyat dan bangsa,  namun cenderung salah kelola dan ajang korupsi untuk baik pejabat ataupun parpol.

Pengelolaan yang cenderung asal-asalan, seperti jabatan balas jasa, pensiunan militer atau polisi, dan model seperti ini jelas membawa bencana bagi BUMN dan negara. Hal yang serius namun seolah dianggap angin lalu. Kesalahan yang harus mulai dijauhkan jika bangsa ini mau terus melaju.

Sapi perah alias ATM bagi partai politik, elit baik eksekutif dan legeslatif, uang THR, dan banyak lagi istilah, sudah waktunya dihentikan, minimal diminimalkan. Mengerikan kekayaan negeri ini melimpah ruah namun hanya dinikmati segelintir elit negeri yang biasa berpesta pora dan tidak memikirkan dampaknya bagi bangsa dan negara untuk jangka panjang.

Posisi Muhaimin yang lebih pas ada pada jabatan MPR, ketua sangat pas di mana perolehan suara partainya cukup signifikan. Jika pun KPK melanjutkan kisah kardus durian tidak terlalu parah mencoreng nama lembaga, malah melengkapi usai ketua DPR, DPD, MK, dan juga MPR toh tidak terlalu buruk.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun