Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KH Maruf Amin dan Simbol Bangga Budaya Sendiri

23 Juni 2019   11:18 Diperbarui: 23 Juni 2019   11:49 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KH Maruf Amin dan Simbol Bangga Budaya  Sendiri

Lama tidak aktif dalam media sosial, cukup kaget ketika banyak bermunculan kebanggaan budaya Nusantara, terutama dalam busana. Artikel ini tentu bukan bicara soal agama, namun budaya dan akhir-akhir ini sering dikacaukan dengan keberadaan agama.

Agama tidak sesederhana dengan rupa pakaian dan model berbusana juga sebenarnya. Juga antara agama dan budaya tidak ada yang bertentangan, saling mengisi dan melengkapi. Masalah timbul ketika saling meniadakan, apalagi saling merasa lebih benar dan lebih baik, yang lainnya buruk dan sesat.

Memang ada banyak budaya yang tidak patut, toh akan tergerus dan tergeser oleh zaman, contoh pembunuhan, dulu biasa saja, toh lama-lama hilang sendiri, hukum berbicara. Pun soal balas dendam yang tidak karu-karuan jenisnya, lama-lama hilang. Sekali lagi ini soal budaya, bukan agama.

Dulu orang sering berbicara soal kebarat-baratan. Seolah ketika barat itu mesti baik dan benar. Itu disadari dan kembali pada jati diri sendiri yang memang juga kaya dan beragam. Toh tidak kalah eloknya dan bagusnya di mana-mana. Kekayaan yang berakar di dalam bangsa sendiri.

Kemudian bergeser dan bangga dengan apa yang berba Timur Tengah, ingat ini sekali lagi bukan berbicara agama Islam. Bukan, itu ranah yang berbeda. Cara berpakaian dan penghormatan individu tertentu itu bukan agama, itu budaya.

Memang ada beberapa kelompok  yang memanfaatkan sentimen ini untuk mencampuradukan semua hal demi memperlemah keadaan. Ini soal politis, bukan lagi budaya, apalagi agama. Sayangnya orang masih bingung dan mudah dibingungkan ketika apa-apa disemati, apa-apa dilabeli agama.

Mabuk agama sejatinya jauh sebelum ini sudah ada. Jika mau belajar sejarah enggan, bisa melihat dalam novel sejarah populer dalam Tetralogi Pramudya atau Arus Balik juga membahas mabuk agama dimanfaatkan untuk memecah belah. Sudah berurat berakar dalam sejarah panjang bangsa ini, mabuk agama adalah sarana efektif bagi menggapai kekuasaan dan pengaruh.

Nah ketika KHMA diangkat menjadi bakal calon wakil presiden, beliau bertanya bagaimana harus perkaian ketika deklarasi, berjas, atau tetap  mengenakan sarung, atau bagaimana. Jokowi mengatakan tetap apa adanya, bersarung dan berpeci. Itu budaya Nusantara, bukan barat, bukan pula Arab, dan bukan karena agama.

Bisa dibayangkan, jika bukan sosok KHMA yang menjadi cawapres dan kini akan menjadi cawapres terpilih, kemudian ada gerakan bangga berbusana Nusantara, apa yang akan disematkan pada Jokowi. Tidak berbuat apa-apa saja dikatakan antiagama tertentu, apalagi ada akso seperti ini.

Lagi dan lagi ini bukan soal cara berpakaian, atau pakaiannya, namun bahwa pakaian yang dikenakan memberikan ciri pada kelompok tertentu yang biasa membuat politik identitas yang demikian fanatis, kadang pula bertentangan dengan alam pikir bangsa yang hakiki.

Kebiasaan untuk menghakimi yang berbeda, merasa diri selalu benar dan lebih baik. Ini masalahnya, bukan pakaiannya, namun pada perilaku dan penghakiman atas cara berpakaian dan busana pihak lain. lagi-lagi bukan soal agama.

Jangan terkecoh kemudian mengatakan bahwa itu upaya sekularisasi dan menjauhkan agama dari kehidupan. Sama sekali tidak. Beragama itu baik dan harus, namun apakah sudah mengubah poa hidup bersama? Toh masih saja merajalela korupsi, termasuk kementrian da jajaran yang mengurusi agama kog.

Jauh lebih penting adalah malu maling dari pada malu berpakaian sebagaimana pakaian tradisi bangsa sendiri.  Atau hujatlah para pelaku ketidakadilan itu dari pada memperkarakan cara berpakaian pihak lain, yang belum tentu lebih buruk juga.

Posisi ada pada RI-02 jelas strategis untuk memberikan bukti dan contoh bagi bangsa dan negara ini. tentunya bukan kog kemudian orang harus bersarung dan berpeci, namun  tidak ada paksaan atau pelecehan bagi pribadi yang memilih cara berpakaian lain. Tidak ada  cara berpakaian itu menjadi tolok ukur dan kadar keimanan dan kadar kualitas kemanusiaan seseorang.

Kedudukan KHMA sebagai kyai, pejabat, dan tokoh jelas sangat sentral sehingga warga masyarakat bisa melihat itu sebagai pola, patron, dan model ada yang berbeda dan itu tidak lebih buruk juga dalam segala hal.

Bangsa yang beraneka ragam sejak lahirnya itu, nampak mau diseragamkan, ketika berbeda adalah musuh dan buruk, orang tentu takut untuk mengambil cara berpakaian sekalipun berbeda. Cara berbusana bukan menjadi pedoman kualifikasi kepribadian seseorang.

Tentu juga bukan hendak menghakimi bahwa cara berpakaian tertentu itu buruk dan bercorak tertentu, tidak pula. Namun ketika orang mengenakan corak tertentu dan memaksakan orang harus sama dan pihak lain lebih buruk, itu persoalannya.

Momentum baik untuk kembali ke jatidiri bangsa. Bangsa atau negeri jiran Malaysia, yang tidak menggunakan Pancasila saja bisa hidup berdampingan antara India, China, dan Melayu dengan kekhasan mereka, masak kita yang berdasar Pancasila harus saling menindas dan melibas.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun