Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Misa" Jumat Agung dan Salah Kaprahnya

21 April 2019   11:11 Diperbarui: 21 April 2019   23:47 1598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan Umat Katolik dari gereja Imanuel Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, Jumat (25/3/2016), mengikuti proses Jalan Salib, dalam memperingati Jumat Agung.(kompas.com/Budy Setiawan Kontributor Kompas Tv Manokwari)

Hal yang cukup fundamental bagi peristilahan dalam Gereja Katolik, jadi sejak awal saya mengatakan, dari pada ada yang ribut dan ribet mengurusi peribadatan dan peristilahan pihak lain, lebih baik tidak perlu. Dalam film Ave Maryam, seorang suster sepuh menasihati suster muda yang jatuh cinta dengan mendalam,surgaku saja belum tentu, mengapa aku mengurus nerakamu. 

Jadi jelas bahwa ini bukan mau Kristenisasi atau apa, hanya sekadar membantu menjelaskan kesalahkaprahan semata. Menyangkut soal dogma pula yang tidak akan bisa didiskusikan dengan yang berbeda lagi. Tidak untuk itu. Hanya karena  memang ada yang perlu diluruskan karena penganut Katolik sendiri sering salah kaprah.

Berawal dari beberapa hal berikut:

Pertama, Mas Misa jam berapa nanti? Padahal ini adalah aktivis sekolah Minggu. Masa mudanya dipakai untuk mengelola sekolah Minggu. Nah jika gurunya saja salah sebut, kan berabe, bagaimana anak-anak binanya?

Kedua, selama Misa, hape harap dinonaktifkan, pembawa acara sebelum ibadah mengumumkan itu. Pernyataan dan pengumuman itu jelas telah melalui tangan panitia dan banyak pihak, toh mengedit hal kecil namun fundamen pun enggan.

Ketiga, Ribuan umat Katolik menghadiri Misa Jumat Agung... judul berita dari banyak media. Ini masih bisa dimaklumi karena memang belum tentu juga wartawannya Katolik, wong yang Katolik saja masih salah kaprah dalam  menggunakan peristilahan.

Misa dalam Gereja Katolik Roma, dalam batasan yang mengikuti Vatikan dan dalam kesatuan Paus di Roma dapat diartikan sebagai perayaan untuk mengenang Sengsara, Wafat, dan Kebangkitan. Ada tiga rangkaian utama iman Gereja di sana. Nah padahal Jumat Agung itu adalah peristiwa sengsara dan wafat, kebangkitan belum ada, belum sampai pada peristiwa itu.

Ibadat atau ibadah Jumat Agung, bukan Misa.

Sepanjang tahun, tanpa kecuali Gereja selalu mengadakan  Misa, terkecuali Jumat Agung. Setiap hari di mana Gereja Katolik akan selalu sama baik tata cara, ritual, bacaan, dan keseluruhan Misa identik. Hanya bahasa dan beberapa penyesuaian namun tidak dalam hal-hal yang pokok. Perayaan Ekaristi atau Misa selalu diadakan, dalam perayaan harian disebut Misa Harian.

Misa Harian dengan bacaan-bacaan yang telah diatur oleh "departemen" di Vatikan sana akan sama di seluruh dunia. Tidak akan ada perbedaan di Afrika dan Amerika, atau Australia dan Eropa, di Indonesia juga sama. Warna liturgi pun demikian. Misa Mingguan itu pun sama lagi di mana-mana.

Ibadah bukan Misa Jumat Agung, karena mengenangkan sengsara Yesus, tanpa ada pengenangan kebangkitan di sana. Sekali dalam setahun Gereja Katolik tidak ada Misa, yaitu Jumat Agung. Nah dalam Misa itu ada yang namanya komuni kudus, roti yang diimani menjadi tubuh dan darah Kristus yang diubah dalam Perayaan Ekaristi. Keperluan dalam Ibadah Jumat Agung telah dilakukan dalam Perayaan Kamis Putih.

Umat Katolik perlu cermat mengamati kalau Kamis Putih di altar akan lebih banyak sibori karena memang perlu dua kali jumlah umat untuk keperluan komuni Kamis Putih dan disimpan dan dibagikan dalam hari Jumat Agung.

Jumat Agung tidak ada konsekrasi, yang ada hanya membagikan Komuni Kudus dari hari kemarin. Tidak ada korban Misa dalam Ibadat Jumat Agung.

Hal ini seolah sederhana, namun menjadi penting sehingga tidak menjadi salah kaprah dan ada hari istimewa. Banyak simbol yang umat tidak paham dan seolah tidak tahu dengan baik. Beberapa hal yang membedakan Jumat Agung dan hari biasa:

Tabernakel, tempat menyimpan Komuni Kudus, kosong, karena disimpan di tempat lain, maka pintu tabernakel biasanya dibuka, lampu indikator di sekitar tabernakel juga mati. Ini penting bagi pemahaman iman namun sering tidak dimengerti. Ini berkaitan juga dengan sikap ketika masuk ke gereja.

Altar tidak ada apa-apa. Kain  liturgis tidak ada sama sekali karena memang tidak ada perayaan korban yang dilakukan. Altar kosong melompong.

Tidak ada lagu pembukaan, simbol keheningan dan duka, sehingga imam dan petugas liturgi masuk dengan keheningan penuh dan diam, kemudian imam tengkurap sebagai ungkapan duka cita.

Iringan lagu seminimal mungkin untuk mendukung suasana duka. Maka tidak ada pula kemegahan dan kemerihaan musik liturgi. Patung dan ikon pun biasanya ditutup dengan kain ungu.

Tanda Salib sebagai simbol kemenangan tidak ada dalam pembukaan dan penutupan ibadat karena memang sedang dikenangkan dalam kondisi prihatin, bukan kemenangan, dan sebaliknya dalam perayaan Paskah adalah simbol kemeriahan karena pengenangan kemenangan.

Hal-hal yang patut disimak karena toh pelaku utama di gereja, termasuk guru agama Katolik pun masih salah menyebut misa untuk Ibadat Jumat Agung. Salah sih tidak, namun tidak tepat secara dogmatis dan teologis, sayang kekayaan simbolisasi itu terabaikan.

Selamat Hari Raya Paskah

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun