Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adillah di Dalam Berkeluarga

17 Februari 2019   09:00 Diperbarui: 17 Februari 2019   09:21 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Artikel ini bukan hendak memrovokasi untuk melajang atau memilih tidak berkeluarga. Sama sekali bukan. Berawal dari teman yang membagikan kisah dalam media percakapan, di sana ada cerita demikian

Seorang ibu dengan wajah kaku dan takut-takut datang ke rumah anaknya yang telah hidup berkeluarga dan rumah sendiri. "Nak boleh Ibu meminjam uang Rp. 100.000, 00 saja untuk beli beras." Ia masuk ke rumah dengan pesimis, apakah akan diperbolehkan oleh isinya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada kotak susu yang harganya setara dengan yang akan dipinjam ibunya, dan itu hanya untuk beberapa hari.

Ia jadi ingat berapa juta uang yang telah dikorbankan ibunya jika ASI yang ia terima dulu dihargai sebagaimana susu formula itu. Tanpa ibu dengan ASI-nya ia tidak  akan mampu semapan ini. Tanpa pikir panjang, ia mengambil uang berkali lipat dari yang Ibu hendak pinjam.

Sambil memeluk ia mengatakan, "Jangan lagi Ibu mengatakan meminjam uang dari aku lagi, ini bawa dan belanjakan sesuai kebutuhan ibu, maaf selama ini anakmu telah lalai dan abai." Sambil ia bersujud.

Kisah kedua, berkaitan dengan artikel kemarin, Orangtua Pisah Ingat pada Anak, Belajar dari Anak Ahok dan Maia

Kompasiane Joko berkomentar, bisa baca di sana, menjadi orangtua itu susahnya kekurangan waktu untuk sendiri.

Sebenarnya sudah cukup lama saya mengamati "ketidakadilan" di dalam hidup berkeluarga, antara sikap anak pada orangtua dan anak kepadan anak dan pasangannya. Kebanyakan adalah anak itu lebih memiliki kemudahan dan kemewahan dari pada orangtuanya. Padahal yang setengah mati mengupayakan agar anak itu menjadi "orang" adalah orangtuanya. Namun berapa banyak orangtua yang mendapatkan "balasan" setimpal?  Tetapi apa yang mereka lakukan pada pasangan dan anak-anak mereka?

Tentu orangtua satupun tidak ada yang akan meminta balasan dan pembayaran atas apa yang mereka lakukan. Sama sekali tidak akan ada benak orangtua yang berpikir demikian. 

Sebanyak apa yang orangtua yang diajak makan enak di restoran mahal, bersama dengan anak-menantu-dan cucu. Saya yakin ada dan banyak, namun bisa dipastikan jauh lebih banyak orang tua tetap dengan kesederhanaan di masa lalu. Jalan-jalan dengan keluarganya sendiri. Memang pernah dan tahu ada rekan yang ke mana-mana mengajak ibunya bersama keluarganya.

Dalam kisah pertama, "ketakutan" pada pasangan jamak terjadi. Hak  dan kepemilikan di tangan pasangan sering menjadi persoalan ribet bagi keluarga. Ini berawal ketika pernikahan tidak dilandasi pengetahuan dan pemahaman bahwa penyatuan keluarga besar. Ada tanggung jawab yang lebih. Jika pas-pasan sih wajar saja. Namun jika bermewah-mewah dan orangtuanya sengsara, apa ya patut sikap demikian? Aneh lagi, ada yang berbeda sikap kepada orangtua dan mertua. Masalah lagi jika tidak ada kesepahaman dengan baik.

Bersikap adil, paling tidak memberikan porsi yang sepatutnya pada orangtua, sebagai bentuk bakti, bukan balas budi, bukan pula membayar. Itu penting. Anak memang kewajiban dan orangtua termasuk mertua juga kewajiban. Bagaimana itu bisa seiring dan sejalan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun