Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dukungan JK untuk Jokowi dan Arogansi 02

6 Februari 2019   07:31 Diperbarui: 6 Februari 2019   08:00 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu tinggal hitungan bulan, dukungan nyata atau saling klaim berseliweran. Ada yang cukup unik dan menarik melihat reputasi khususnya 02 di dalam upayanya memperoleh  pemilih dan dukungan. Dari edit photo dan gambar pada masa lalu, hingga klaim ngawur. Ada satu yang menyolok adalah arogansi.

Sikap arogan dan merasa paling benar dan paling habt ini berseliweran, baik capresnya, elitnya, timsesnya, juga para pendukungnya. Lihat saja gaya ketika berdebat dan merasa tersudut, umpatan dan makian yang akan datang. Miskin data atau tidak mau tahu akan data menjadi andalan di dalam upaya mendongkrak dukungan. Miris kadang malah untuk menjatuhkan rival.

JK di dalam salah satu acara mengatakan, negara bisa mundur karena dua hal, pemimpin yang otoriter dan keluarga pemimpin bermain dalam proyek pemerintah. Keduanya tidak ada pada Jokowi. Hal yang logis dan sangat tepat. Pengalaman 32 tahun lebih memberikan dampak yang luar biasa. Ketika tidak otoriter, namun ribet memainkan proyek oleh orang lingkaran utama, mau apalagi. Dan semua paham kog dengan hal itu.

Jauh sebelum ungkapan itu JK menyatakan juga, Jokowi bukan yang terbaik, namun dibandingkan rivalnya tidak ragu bahwa Jokowi mendapatkan poin lebih. Pengalaman memimpin itu jelas menjadi nilai tambah yang cukup signifikan. Pun di dalam memimpin toh menunjukan hasil yang cukup terlihat dampaknya.

Arogansi dan gaya berpolitik

Cukup patut disayangkan jika mereka malah mengusung arogansi. Di dalam KBBI arogan memiliki makna pongah, sombong, congkak, secara khusus dalam bidang psikologi, mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah. Pengertian ini jika diterapkan dalam beberapa kasus jelas menemukan titik temu yang konsisten dan tepat.

Doa dan Puisi. Bagaimana orang bisa menafsirkan doa dan kemudian diungkapkan dalam puisi dengan bingkai kepentingannya sendiri dan kelompoknya, tidak mau tahu keadaan konkret yang sangat bisa terjadi di dalam pribadi orang lain yang menjadi subyek. Siapapun ditabrak dan dilabrak karena mengganggu kepentingannya. Siapa yang tidak menguntungkan pihaknya adalah lawan yang perlu disingkirkan dengan berbagai cara. Apa ya pantas menafsirkan doa oleh pribadi sepuh dengan kata dan pilihan kata seperti itu?

Hal yang sebenarnya bukan baru juga jika melihat rekam jejaknya jauh lebih lama. Bagimana ia memaki orang lain sebagai plonga-plongo. Guru mengatakan hal itu ke muridnya saja bisa jadi masalah besar lho, lha ini, malah elit negeri. Padahal jika ada cermin besar, bukan malah layar besar di ruang kerjanya, justru yang tidak bekerja itu yang plonga-plongo.

Belum  lagi sibuk ke sana ke mari membela terpidana. Padahal jelas koridor hukum ada, dalam bentuk banding dan juga PK. Eh malah ribut ke pengadilan ini dan itu, ingat dengan kuasa yang ia pakai. Memalukan jika mau becermin, sekali lagi soal kualitas jemawa, mencampuri urusan peradilan lagi.

Anak-anak menjadi sumber persoalan. Di lingkungan, jika ada mak-mak atau pak-pak ribut karena anak-anak akan dicap sebagai orang yang kurang kerjaan. Eh ada elit negeri yang mempersoalan cucu pejabat yang menggemaskan dan mencemaskan bagi mereka untuk mendapatkan simpati. Akhirnya mereka lupa bahwa perilaku lebih parah juga pernah mereka lakukan. Konteksnya jelas ebih parah membawa bendera aksi, bendera parpol atau ormas dalam demo, ini lebih jelas dan  konkret, bukan semata tafsir dan klaim semata. Mereka melakukan namun menuding pihak lain sebagai pelaku.

Merendahkan pihak lain. Salah satu timses mereka berselisih paham karena merendahkan yan g dianggap sebagai timses pihak lain. Namun merendahkannya pada profesinya, bukan kapasitasnya jika sebagai timses. Sebenarnya merendahkan pihak lain itu sangat biasa, lihat gaya Srimulat di dalam mengundang tawa penonton kan memanfaatkan kelemahan ini. Lha apa iya era  modern, demokratis ini masih model mencela dan mencaci maki di dalam mencari simpati? Justru harus ditinggalkan malah.

Hal yang sangat wajar karena toh pimpinannya, ingat siapa yang diusung itu sebagai pimpinan dalam gerbong ini, juga melakukan hal yang sama dan berkali ulang. Tampang Boyolali, kerja ojol, profesi wartawan, dan banyak kisah perendahan martabat yang sangat sering nyaring terdengar dan berseliweran.

Menabrak aturan dan hukum. Ketika hukum sudah ditabrak seenak udelnya sendiri, ya sudah, jangan harap negara bisa tegak berdiri. Apa yang dinyatakan JK menemukan lagi kebenarannya. Bagaimana Fadli Zon ke mana-mana "mencari keadilan" bagi Dani yang dijebloskan ke dalam penjara. Mempertanyakan karena dengan beribu dalih. Koridornya bukan kekuasaan sebagai pimpinan dewan mendatangi pengadilan, atau malah cawapres mau merevisi UU, tetapi banding dan PK, jika itu memang masih waras.

Hal yang sangat wajar ketika salah satu tokoh yang ngamuk karena ditolak berkunjung. Padahal jelas hari Minggu lapas tidak memberikan fasilitas kunjungan. Luis Sangkarisma, malah melebar ke mana-mana. Padahal peraturannya jelas, malah melebar yang tidak jelas. Apa yang terjadi ini sejatinya adalah gambaran utuh bagaimana melabrak aturan sangat biasa mereka lakukan. Model menuding sebagai kriminalisasi ketika tepergok sudah hal yang lumrah mereka lakukan.

Bangsa yang besar itu akan dibangun oleh kebersamaan untuk taat hukum dan aturan. Susah berharap orang bisa taat azas dan konsensus jika berhadapan dengan yang berupa aturan tertulis saja masih saja belepotan. Arah ke sana makin maju, orang malu melanggar hukum dan kepastian hukum mulai beranjak ditegakan.

Memang masih susah karena sekian puluh tahun penegakan hukum abal---abal yang lebih mengemuka dan menjadi panglima. Diperparah dengan politikus tidak siap kalah yang menjual politik ugal-ugalan selama ini menjadi perintang utama.

Harapan itu jelas jadi mengapa harus berganti dengan kebersamaan arogan yang identik dengan masa lalu itu? Apa iya mau mundur lagi?

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun