Hal yang sangat biasa sebenarnya dalam alam hiburan kita, Srimulat, lawakan-lawakan kita cenderung menjual kekurangan tim itu, atau menghibur dengan menertawakan kekurangan tim. Bagaimana Pak Bolot yang membuat orang terpingkal karena peran tulinya, atau Pak Bendot yang menjadi bulan-bulanan, atau Tessy sebagai perempuan jadi-jadian yang memang menimbulkan tawa.
Itu lawakan zaman dulu, kini dengan ala stand up comedy, beda jauh. Menjual kelucuan dengan cerdas, keren, dan tidak perlu menjual rekans ebagai obyek penderita. Lawakan sendirian saja toh bisa dan kadang jauh lebih lucu.
Nah mempermalukan audien itu model kuno, lawakan masa lalu, jika hendak memecah kebekuan dalam komunikasi dan interaksi di dalam pembicaraan. Â Tampaknya juga berkaitan dengan keinginan dirinya adalah pusat perhatian.
Arogan dalam menjadikan dirinya adalah pusat perhatian
Diperlihatkan dengan marah pada mak-mak kala ia berbicara namun banyak yang asyik rebutan buku. Lihat itu ia mengatakan saya yang bicara atau anda. Lihat bukan siapa yang ingin menjadi pusat? Pun dalam kisah drama 212, kala media tidak menampilkan itu dalam pemberitaan, ia marah dan menuduh media tidak benar lagi. Ini bukan soal berapa yang datang atau apa acara itu, namun bagaimana ia tampil dan tidak menjadi pusat perhatian.
Pernyataan kontroversial yang abai data atau data separo, atau mengaitkan fakta dengan keinginan sendiri.
Beberapa kali yang ia nyatakan itu sebatas ilusi. Bagaimana soal 99% rakyat hidup pas-pasan. Benar masih ada yang kekurangan, namun tidak sebesar itu juga. Pun kenaikan orang miskin yang ia nyatakan 50% peningkatannya, ah dari mana yang terjadi demikian? Jelas itu  tidak berdasar.  Demikian juga dengan isu-isu lain.
Fokus perilaku dan pilihan Prabowo adalah menjadi pembicaraan di media. Dua kemenangan di USA dan DKI Jakarta menjadi pola yang diyakini sebagai sakti, mantra mujarab, dan satu-satunya jalan untuk menang. Sangat wajar karena memang tidak memiliki apa-apa untuk bisa melawan incumben.
Berbeda dengan JK ketika menantang SBY, posisi hampir setara, hanya saja memang jauh lebih menjanjikan dan menjual SBY dari pada JK. Namun bekal dan modal JK hampir sama. Pejabat publik yang bisa berjalan mondar-mandir di media, di daerah-daerah, kinerja pun tampak dengan jelas. Lha Prabowo yang memilih posisi "oposisi" sayangnya cenderung asal berbeda. Posisi yang makin menepikan Prabowo.
Selama ini tampilan, sikap, dan komunikasi Prabowo masih tertata dengan rapi, ketika keadaan mendesak, kepanikan yang makin memuncak, akhirnya tampilah sikap dan sifat aslinya. Sangat bisa dimengerti jika demikian.
Apa iya pribadi demikian mau memimpin negeri ini? Susah berharap mampu memimpin dengan baik.
Terima kasih dan salam