Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sandi, Prabowo, dan SBY, Kepentingan 2024 dan Kampanye 2019

21 November 2018   07:54 Diperbarui: 21 November 2018   07:57 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi koalisi 02 sulit menjadi solid karena kepentingan 2024. PKS, PAN, dan PBB, atau Berkarya tidak demikian menjadi persoalan, karena posisi mereka memang tidak cukup signifikan bicara 2024. Sangat berbeda dengan Demokrat bersama AHY-nya jika berbicara 2024. Sebenarnya 2019 saja AHY dan SBY sangat berharap sudah masuk kancah pilpres. Apa daya terhalang kardus.

Kepentingan yang masih saling tarik di dalam kebersamaan mereka cukup sulit disatukan. Hanya dalam bahasa jubir dan ketika berbicara di depan media saja mereka mengaku solid, saling dukung, dan bahasa normatif lainnya yang senada. Pada dasarnya susah seperti itu.

Paling tidak ada tiga kepentingan mendesak di antara partai-partai paling kuat di dalam koalisi ini. pertama, Prabowo dengan masih eksisnya Gerindra. Kedua, Sandi kali ini hanya  menjajagi, yang lebih akan getol di periode mendatang. Kali ini masih investasi politis. Ketiga jelas Demokrat yang akan tetap mengajukan AHY di 2024 mendatang.

Prabowo dan Gerindra

Susah mengharapkan Gerindra tetap besar, paling tidak sama dengan periode lalu, tanpa mengajukan Prabowo menjadi capres. Mengandalkan Fadli Zon, Dhani, Habiburohman, dan sejenisnya mana bisa pemilih percaya. Mereka berbicara saja belepotan. Prabowo tahu persis, bahkan mengatakan tidak bisa mengatur Zon yang demikian. ini kartu mati bagi Gerindra. Tentu Prabowo tidak mau Gerindra hanya numpang lewat dalam sejarah pemilu.

Sebenarnya lebih baik jika Prabowo lebih mendorong Muzani, Desmon, banyak kader waras dan bisa bersikap obyektif, daripada komentar kontroversial merugikan selama empat tahun ini. perjuangan Prabowo malah digerogoti sendiri dari dalam karena model bersikap politik yang buruk ala Zon dan kawan-kawan.

Pemilih Gerindra itu pemilih fanatis, bukan pemilih rasional, dan ini perlu tokoh yang bisa menjadi daya tarik, hanya Prabowo yang bisa. Pilihan yang memang cerdik karena tidak ada lain. para pemuja itu hanya ndopleng hidup lewat Gerindra bukan membesarkan Gerindra. Perlu pemikiran lebih untuk bisa bertahan usai Prabowo.

Sangat wajar ketika Prabowo seolah-olah malas seperti klaim Andi Arief, Prabowo sudah capek ini, menghadapi  tingkah polah anak buahnya yang memiliki misi masing-masing. Begitu jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu di dalam bernegara.

Sandiaga Uno antara Pilpres 2019 dan 2024

Hal yang tidak bisa disangkal, karena 2019 toh sudah dipahami, sangat sulit untuk bisa melawan Jokowi. Politik rasional juga akan setuju, toh tidak ada yang salah dan fatal di dalam pemerintahan selama empat tahun ini. cukup wajar dan nomal, bahkan kalau mau jujur juga mereka akan mengakui kog. Investasi semata kali ini.

Mengenai kampanye yang menyerang bak babi buta kadang tanpa fakta itu ya memang harus dilakukan. Lucu juga jika maju hanya untuk kalah dan menyerah sebelum bertanding. Kan bisa saja berharap siapatahu menang, kan lumayan, bisa untuk ke depan juga. Tetap bahwa kali ini hanya setengah hati, setengah gas saja, soalnya mengukur diri juga. Beda jika 2024.

Beberapa indikasi terlihat, bagaimana ia tidak tahu apa-apa mengenai koalisi sebagaimana pengakuan Yusril. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk maju bersama sebagai koalisi dengan partai politik juga memperoleh efek magisnya, bukan hanya pilpres semata.

Apa yang ditagihkan oleh kubu Demokrat juga menjadi jelas bahwa Sandi asyik sendiri dan lupa bahwa ia itu calon wakil dan ada juga gerbong yang bersama-sama dengan dia untuk maju. Komunikasi di dalam tim kampanye mereka tampaknya sangat lemah dengan bisa berbeda antarsatu dengan yang lainnya. Mana bisa jubir nasional dikritik salah satu elit mereka tidak memiliki data. Kalimat Fahri ini jelas fatal.

Investasi jangka panjang yang telah ia hitung masak-masak. Maka mundur dari jakarta ia langsung lari, terbang, dan mengunjungi banyak daerah. Untuk apa mengenalkan diri, ambil mengucapkan bahasa-bahasa kontrobversial yang diulang-ulang terus. Jelas arahnya ke mana.

Apa yang dicari di 2019 hanya antara, kalau menang ya syukur, kalah pun sudah  mulai menasional namanya. Ini bukan hal yang kecil dampaknya.

Demokrat dan 2024

Demokrat juga sebenarnya investasinya tidak kurang-kurang. Hanya ternyata SBY yang ahli kalkulasi politik itu abai sedikit sehingga salah di 2017. Toh dengan cerdik di atasi dengan langsung target 2019 ikut di dalam pilpres, dengan AHY yang makin dikedepankan untuk menjadi terdepan dalam banyak cara.

Tiba-tiba ada Sandi yang lagi-lagi SBY lalai melihat ini sebagai pesaing serius bagi AHY. Meradangnya Andi Arief soal jenderal kardus jelas adalah kemurkaan, kemarahan, dan kegeraman SBY atas lalainya melihat pesaing sepadan tiba-tiba itu.

Demokrat salah berhitung juga karena sekian lama asyik di dalam, ketika tiba pilpres, AHY yang ditawarkan ke mana-mana tidak menjadi bahan lirikan yang cukup menjanjikan. Padahal ada UU yang mengatur bahwa 2024 tidak bisa menyalonkan dalam pilpres, jika 2019 tidak ikut. Mau tidak mau, suka atau tidak, melabuhkan dengan berat hati pada koalisi Prabowo. Ini lagi-lagi lalainya SBY dalam memilih. Emosional yang merugikan.

Alasan hanya karena biar bisa ikut di 2024 lah Demokrat ikut gerbong Prabowo. Hambatan psikologis cukup kuat juga sebenarnya. Dan itu tidak bisa ditarik lagi. Berat memang dan SBY yang makin sepuh merasa semakin tidak sanggup. Belum lagi kader-kader yang bisa membantunya makin sedikit. Lebih banyak pemuja dan dompleng urip di sana.

Moncernya Sandi tenntu membuat SBY meriang. Susah dan makin lama lagi menantikan bisa ada klan Yudoyono di istana. Belum tentu, maaf ini bukan mendoakan, hanya melihat fakta usia kemungkinan hidup, masih bisa menyaksikan putranya di 2029. Sangat wajar SBY setengah hati mengampanyekan Prabowo. Apalagi disentil tagihan oleh elit Gerindra, makin meradanglah beliau. Seolah bisul mengkal kena sentil anak usil.  

Apa yang disajikan akhir-akhir ini antara SBY dan elit koalisi Prabowo hanya soal 2024, bukan pemilihn 2019. Memang SBY harus bersikap karena Sandiaga makin moncer dan makin menguat. Jangan sampai karpet merah untuk AHY terenggut lagi oleh Sandiaga Uno untuk kedua kalinya.

Politik itu tidak mengenal kawan abadi, iya lah, bagaimana menjual diri demi kursi dan rekan koalisi pun adalah rival. Jangan kaget jika masih akan lahir drama-drama baru.  Potensi rival membesar perlu diatasi dengan apapun caranya, apalagi jika itu berpotensi mengerdilkan kader sendiri yang sama-sama sedang merintis.

Emosional yang sangat jarang SBY  lakukan, dan malah terjadi. hambatan psikologis dengan Mega jauh lebih udah diatasi sebenarnya daripada bersama Prabowo. Mega sama-sama presiden, pernah jadi anak buah, ketika melangkah bersama tidak terhalang sebenarnya.

Bayangkan dengan Prabowo yang selalu di bawahnya dan kini harus menjadi pendukung dan di bawah pimpinan Prabowo. Sakit lah. Pada sisi lain, juga itu sangat mungkin menguburkan pula AHY lebih dalam.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun