Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

"Tukiman" Ketika Kemanusiaan Tereduksi Zaman

1 Oktober 2018   05:00 Diperbarui: 1 Oktober 2018   05:42 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Fenomena tukiman, laki-laki yang menjadi "pejantan" para  pemadu karaoke di kawasan wisata Bandungan adalah sisi lain perkembangan kawasan. Tukiman, maaf, turu, laki, mangan, tidur, berhubungan badan, dan makan. Itu saja "status" yang melekat, tidak pas dikatakan suami, nyatanya tidak ada ikatan pernikahan, pacaran juga tidak, ya tukiman.

Mereka ini dalam sebuah pemberitaan, mengatakan para tukiman itu mendapatkan kepuasan biologis, makanan, dan uang jajan. Tanggung jawab mereka antarjemput kerja bagi para perempuannya, dan membawa pulang kalau mabuk termasuk memandikan dan mengganti baju kalau muntah usai mabuk.  Dan juga menjadi "centeng" kalau ada bahaya, kadang pula menjadi calo bagi hidung belang yang mau menggunakan jasa"PK".

Apakah para perempuan ini lajang? Tidak mesti, pernah dalam perjalanan ada ibu-ibu cukup muda, naik bis di mana saya lihat perempuan ini naik, ia diantar laki-laki dan anak kecil, kisaran 5-6 tahun. Mesra sebagai sebuah keluarga yang mengantar ibu mau kerja. Di bis, kaget ketika telponan ternyata ia adalah pekerja di Bandungan. Tanpa rikuh ia dengan suara cukup keras, kalau pulang terlalu cepat akan dimarahi mami. Bonus bisa hangus.

Ia juga mengatakan sedang berangkat menuju ke tempat rekannya berkomunakasi itu, ia baru pulang kampung dan diantar anak dan bapaknya, begitu ia membahasakan. Jelas ia bagian keluarga "normal" sebenarnya.

Tidak jarang memang janda dengan segala alasan dan problematikannya, bukan mau merendahkan status perempuan. Dan menjadi pelik lagi, ada di antara mereka ini pun "dipelihara" laki-laki lain lagi. Ini biasanya pemodal bagi si perempuan dan si tukiman. Artinya mereka ini susah mau memberikan label statusnya, karena begitu banyaknya kait mengait, dan memang ujungnya tidak jelas itu.

Fenomena ini bukan hanya tunggal dan khas Bandungan, ada gemblak, era dulu, pernikahan kontrak dan anak di daerah Jawa Barat, dan mungkin banyak juga jenis yang lain.  Tentu bahwa itu membawa permasalahan dan persoalan kependudukan yang tidak mudah.

Aristoteles, filsuf Yunani menyemati manusia sebagai hewan berakal budi, manusia adalah binatang yang berpikir. Yang membedakan manusia dan binatang ada berpikir. Menarik, khusus dalam kasus tukiman ini, mereka jelas naluriah, bukan berpikir. Hanya mengikuti naluri untuk tidur, makan, dan hubungan seksual. Tidak ada yang membutuhkan otak sebagai pembeda dengan maaf hewan. Mereka paling juga akan berkelahi untuk menjaga "pemeliharanya" agar tidak diserobot, atau diperlakukan tidak adil, tidak dibayar misalnya.

Kemajuan kawasan tanpa dibarengi kemampuan mengelola iman dan budaya, suka atau tidak, yang jauh berkembang adalah maksiat, penyakit masyarakat, dan tabiat buruk lainnya. Benar bahwa kawasan Bandungan memang maju, menjadi kawasan wisata potensial, banyak hotel dan wisma, namun jangan pula kaget soal pekat, atau penyakit masyarakat yang demikian besarnya.

Tukiman, ini akan tidak jauh-jauh dari mabuk, berjudi, dan kadang berkelahi. Waktu mereka relatif panjang tanpa adanya kegiatan lain. Akhirnya apa? Ya jelas berjudi dan mabuk, tidak ada lain. mau kerja? Apa mau susah? Ini masalah.

Mereka hidup bersama dalam kontrakan, lagi-lagi ini penyakit. Mereka bukan pasangan resmi dan bisa saja mereka juga punya pasangan masing-masing di tempat lain. Potensi penularan penyakit menular seksual dan puncaknya ADIS jangan dibayangkan tidak terjadi.

Narkoba dan obat-obatan terlarang juga sudah marak. Tidak akan orang puas seperti dua dasa warsa atau satu dasa warsa lalu dalam dunia mabuk-mabukan. Dulu bir saja sudah bangga, kini tidak akan cukup. Pil, dan lain-lainnya telah menjadi bagian utuh dunia malam ini.

Perkelahian dan kekerasan apa mungkin bisa hilang dengan model hidup demikian? Jelas saja tidak. Dalih dan alasan mabuk lah, di bawah kendali obat, atau cemburu, merasa adanya ketidakadilan, dan seterusnya. Itu kehidupan sehari-hari.

Kembali pada esensi pengertian sederhana tukiman itu, jelas mereduksi kemanusiaan, manusia yang memenuhi hasrat mempertahankan hidup yang paling dasariah. Hidup manusiawi itu juga bersifat sosial. Bagaimana jika relasi itu hanya semata transaksional semata?

Hidup sosial bersama yang lain. Apa iya mereka juga melakoni hidup sebagai anggota masyarakat umumnya, ada sosialisasi, saling kenal dan kunjung? Atau malah hanya sikap protektif, saling curiga, dan kepentingan uang dan kesenangan saja yang ada?

Hidup dalam masyarakat, status relasional itu jelas, lajang, menikah, janda, duda,  alasan menjadi atau duda, meninggal atau cerai. Status mereka itu susah semua, bahkan bisa menjadi satu perempuan banyak laki-laki, atau banyak laki-laki juga banyak perempuan.

Jika terjadi kehamilan, potensi aborsi jauh lebih besar, dengan asumsi, ia tidak bisa "bekerja" sekian lama, siapa si bapak juga jadi sumir, bisa ribut ke mana-mana. Aborsi pilihan paling realistis, apa benar? Jelas tidak secara moral, namun apa masih ada moral bicara dalam lingkungan demikian?

Pendidikan anak di rumah, apakah terjamin, apakah ibu ketika pulang bisa berperan sebagai ibu dan istri yang ini persoalan lain lagi, yang tidak kalah peliknya. Apa iya generasi penerus dikelola dengan modal sosial seperti ini?

Elit sedang berebut bener, tempe setipis kartu atmlah, dolar yang begini begitulah, atau si anu gak pulang-pulang, istana begini dan begitu, kampanye harusnya demikian, bukan begini, dan sebagainya, padahal di depan mata persoalan masyarakat yang mendasar malah terabaikan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun