Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Gembala Prapaskah KWI 1997, Golput, dan Larangan Memilih Pemimpin Jahat

25 Agustus 2018   09:00 Diperbarui: 25 Agustus 2018   09:16 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramai-ramai soal pernyataan Mahfud MD soal jangan memilih pemimpin jahat, jadi ingat soal Surat Gembala Prapaskah 1997, yang nanti akan disingkat SGP. 

SGP itu sejenis surat dari para gembala gereja Katolik di Indonesia di dalam memperingati sesuai, seperti Natal dan paskah, atau juga isu-isu terkini dalam hidup bersama, tidak jarang pernyataan itu dibuat bersama PGI. 

Khusus SGP '97 itu, dulu ada beberapa pernyataan yang paling menghebohkan adalah adanya pernyataan dari para uskup diIndonesia, yang menyatakan golput adalah pilihan.  Memilih untuk tidak memilih.

Jelas membuat pemerintah waktu itu, yang memang antisuksesi, sangat sensitif soal perggantian pimpinan, apalagi pemilu yang dibuat gagal, kehebohan tidak karuan dengan pernyataan itu. Apalagi, waktu itu masih mahasiswa tingkat tengah, jadi masih senang dalam diskusi yang sedikit terlarang itu. 

Di wisma mahasiswa dan gereja-gereja diadakan sarasehan dan bedah SGP itu. Salah satu perumus alm Mgr Y. Pudjasumarto, waktu itu belum Mgr, menyatakan kalau beliau tidak menyangka kalau Kardinal Y. Dharmaatmadja akan mengeluarkan pernyataan sekeras itu. Tidak heran, ketika berbicara ini harus saling mengenalkan diri dan asalnya dari mana. Kampus-kampus Katolik tidak jarang ada tentara masuk ruang kuliah, padahal tidak ada kaitan sama sekali SGP dengan Unika, tetapi apa mudeng pemerintahan waktu itu.

Gereja tidak pernah berpolitik praktis, namun peran kenabian, menyuarakan kebenaran di tengah hiruk pikuk berbangsa dan bernegara jelas salah satu tugas utamanya. Akan berbeda jika KWI atau Gereja menyatakan pilihlah partai A atau pilihlah calon X, itu jelas melanggar dan akan disemprit Vatikan, namun jika menyatakan seruan kenabian itu keharusan. Tidak ikut arus politik, namun jika ada penyelewengan harus bersuara.

Golput malah menjadi dominan, padahal bukan hanya itu yang dinyatakan oleh KWI, namun karena memang perpolitikan sedang pada puncak kemuakan, dan salah satu suara yang cukup berbeda itu menemukan momentum untuk menjadi gaung yang besar. Kalau bahasa hari ini mungkin viral. Dulu internet belum semudah dan semurah hari ini, media sosial juga belum ada dan marak, hanya elit yang menguasai itu.

Pernyataan Pak Mahfud MD pun sebenarnya adalah pernyataan Rm. Magnis Suseno SJ, yang sejak pilkada serentak lalu sudah dipakai di Salatiga, di kantor DPC PDI-P, perempatan Pasar Sapi, banner cukup besar dengan gambar wajah Rm Magnis dan tulisan, pemilu bukan memilih yang terbaik, namun mencegah si jahat menjadi pemimpin. Dan Mahfud MD juga mengakui kalau itu dia ambil dari pernyataan Magnis tersebut.

Mengapa jangan pilih calon jahat demikian masih, padahal kalimat yang sama hampir setahun lalu dipakai juga dengan besar-besaran tidak berdampak? Apakah soal yang menyatakan? Tidak juga, namun karena waktu yang menentukan. Mahfud yang sangat seksi kali ini, apapun pernyataannya bisa menjadi senjata bagi pihak yang mau mengolah itu bagi kepentingan masing-masing.

Memanfaatkan dugaan sakit hati atas "terbuangnya" Mahfud dari bacapres dipakailah bahwa si jahat adalah yang "menyingkrikannya", seolah lebih tahu dari siapa yang menyatakan para politikus yang sedang mengail itu. Padahal Mahfud sendiri mengambil kalimat itu juga sangat normatif, jangan pilih penjahat jadi pemimpin, bukan soal si A atau Si B sebagai jahat.

Kebiasaan memanfaatkan kesempatan dalam kesulitan, sebenarnya ciri orang minder dan kecil hati namun merasa besar. Suka pula memotong apapun sesuai kepentingan dan keuntungan sendiri dan kelompok. Entah ini mengapa seolah menjadi tabiat, yang kalau tidak hati-hati bisa menjadi budaya baru yang sejatinya sangat tidak elok. Penafsiran itu ya boleh-boleh saja, namun tentu berdasar dan tidak mengingkari kebenaran. Dan tidak jarang bahkan menyembunyikan sebagian kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun