Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak-anak Masuk RSJ Karena Les

11 Agustus 2018   18:00 Diperbarui: 11 Agustus 2018   18:40 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pagi-pagi cukup kaget membukan kiriman teman mengenai anak yang masuk rumah sakit jiwa karena les. Mengenai benar atau hanya rekayasa, toh ini bisa benar terjadi. Di sana,  diceritakan anak usia SD  yang sangat "cerdas" dengan menirukan gaya guru mengajar, dari senam, berhitung, mengaji, doa ini dan itu, bahasa Inggris dengan sangat fasih. Jika tidak dilakukan di RSJ tentu akan sangat membanggakan.

Ternyata ia ada di RSJ karena hari-hari terakhir ia sering menangis tanpa sebab, jika ditanya akan mengatakan yang sangat tidak berkaitan, angka, hitung-hitungan, atau doa ini dan itu. Ketika ibunya menangis karena melihatnya, ia mengatakan, "Bunda tidak perlu menangis, kan aku pintar, tapi maaf aku tidak mau tidur dengan Bunda, aku tidur dengan dokter ganteng atau cantik saja."

Perilakunya nampak tertekan jika ada sosok dengan model pakaian seorang guru. Sisi lain ia fasih menirukan gaya dan lagu guru mengajar. Kisah ini bisa seutuhnya demikian, bisa sebagian fakta, dan bisa juga fiksi, namun satu yang pasti, bahwa hal demikian bisa terjadi.

Tentu keinginan, kehendak orang tua, serta angan-angan orang tua adalah yang terbaik bagi buah hatinya.  Memberikan fasilitas les, kursus ini dan itu, jelas bermaksud baik, apakah diterima dengan baik bagi kejiwaan dan badan anak? Belum tentu. Bisa saja anak kawannya, anak relasinya, atau kenalannya, dengan beban yang sama baik-baik saja. Anak bisa menerima atau menyikapi dengan berbagai cara, tidak bisa menyamaratakan kemampuan anak dengan hanya melihat sepintas saja.

Orang tua tidak salah dengan memberikan berbagai fasilitas demikian, namun apakah itu menyenangkan anak? Atau malah menjadi beban bagi tumbuh kembang anak? Tentu orang tua bisa melihat dari gelagat, perilaku, dan keseharian anak. Apalagi jika orang berpendidikan akan sangat paham bagaimana psikologi itu berperan dan menampilkan diri dengan jelas.   Bekal ketrampilan, bekal pendidikan agama, dan pengetahuan jelas saja sangat baik, sangat penting juga, namun ada waktu untuk itu, tidak bruk sesaat saja.

Memberikan bekal karena dulu ingin tidak terpenuhi bisa saja terjadi, jika demikian, peringatan bagi orang tua, anak meskipun anak kandung sendiri, toh pribadi yang otonom. Tidak bisa diberikan apa yang sebenarnya adalah keinginan pribadi ibu-bapaknya di masa kecil dulu. 

Kembali ini tidak bicara benar salah, namun soal tidak pada tempatnya, ranah yang berbeda. Anak memiliki dunia, pemikiran, dan seluruhnya otonom, bukan milik orang tua. Orang tua bisa mengarahkan yang terbaik, namun tetap anak yang menjalani perlu diajak berbicara dan berdialog sesuai dengan umurnya.

Pendidikan itu bertahap dan berjenjang, dan memang ada waktu terbaik untuk anak belajar. Usia emas untuk mengenal bukan mendalami banyak hal. Sayang sering orang tua salah memahami  hal tersebut. Demi masa depan yang gemilang anak dibebani dengan les dan berbagai kursus, yang bisa saja ujungnya RSJ seperti itu. Sama juga angkat berat itu atlet tidak ujug-ujug mampu mengangkat beban ratusan kilo gram. Demikian juga pengetahuan dan ketrampilan. Ada waktu dan kesempatan yang jelas dalam psikologi perkembangan itu ada masanya.

Gengsi orang tua, kebanggaan kalau anaknya pinter, cerdas, berbeda dengan teman sebayanya, sekolah di sekolah terbaik, apakah anak bahagia? Itu tidak menjadi pertimbangan. Dan itu bisa menjadi bumerang. 

Belum tentu anak senang dan nyaman dengan sekolah mahal, sekolah favorit tersebut. Apakah les juga menjamin anak menjadi apa yang seharusnya bisa diperoleh? Bisa saja, namun belum tentu. Demi hasrat menjadikan anaknya pemain bola besar, anak dimasukan SSB, lha padahal menendang bola saja tidak jelas, kalau dipaksa bisa saja anak menjadi pemain bola, namun apakah menjamin anak bahagia dan menjadi dirinya sendiri?

Jangan sampai karena maunya membahagiakan anak malah menyiksa anak dengan atas nama cinta  kasih. Setuju tidak ada orang tua itu yang akan menjerumuskan anak, tidak akan membuat anak menderita, makanya diberikan bekal yang terbaik, dalam kacamata orang tua tentunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun