Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gus Dur dan Jokowi, Gambaran Dua Pemimpin Sipil Negeri ini

10 Juni 2018   07:24 Diperbarui: 10 Juni 2018   07:42 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinta Nuriyah memberikan sebuah peci milik almarhum suaminya, Abdurrahman Wahid kepada Gubernur DKI Joko Widodo. Pemberian hadiah itu dilakukan usai Jokowi menjadi key note speaker Hari Lahir ke 9 Wahid Institute.(kompas.com/Fabian Januarius Kuwado)

Gus Dur dan Jokowi, tentu tanpa menafikan kebesaran nama Sukarno sebagai pemimpin sipil negeri, juga Megawatie dan BJ Habibie, dua nama ini yang mengalami kepemimpinannya dengan beberapa gebrakan jelas. Sukarno memang beda zaman dan kondisi yang sungguh berbeda. Tentu bukan antimiliter juga, namun bagaimana sipil jauh lebih menjanjikan, soal pemimpin militer, bukan menjadi bahasan dalam artikel ini.

Gus Dur, presiden dengan kemampuan memahamai ilmu kemanusiaan yang mendalam. Pendidikan dan dasar kehidupan yang berbasis agama dan sangat dominan mewarnai dan menjadi gaya kepemimpinan dan sikap serta keberpihakan presiden yang satu ini. Sayang tidak cukup waktu untuk bisa berbuat baik dan membangun negeri dengan dinamika politik yang ada.

Kondisi bangsa yang sangat labil, eforia demokrasi yang masih mencoba-coba, dan tentu saja sistem politik yang berbeda menjadi catatan penting kondisi negara saat itu. Di dalam pengabdian yang relatif singkat itu, banyak hal yang bisa disumbangkan bagi hidup berbangsa yang BerbhinekaTunggal Ika ini.

Pengakuan rersmi Kong Hu Cu sangat besar peran dan kehadiran negara di bumi Nusantara yang memang majemuk. Akses yang lebih luas terhadap anak negeri, yang sekian lama seolah menjadi anak tiri tentu menjadi kelegaan dan demokrasi yang benar-benar tumbuh. Pun dengan model dan latar belakang yang identik. Meskipun masalah ini dengan latar belakang yang sama masih saja terjadi keriuahan di sana-sini. Momentum itu sudah ada, dan penyelesaian masih perlu waktu.

Reformasi birokrasi dan bertata negara yang begitu progresif tentu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Seperti gerbong kereta peran era NICA yang ditarik dengan loko modern, apa yang terjadi?  Tentu sangat dipahami bukan? Gerbong besar ini sedang dicabik-cabik oleh berbagai masalah, rezim berkuasa puluhan tahun dengan pendekatan demikian, kemudian dengan tiba-tiba hendak diperbaiki dengan seketika.

Penolakan sebagian pihak yang merasa akan terganggu kepentingannya tentu masih kuat. Hal yang tidak biasa saja reaksi yang terjadi. Begitu banyak kepentingan yang berbicara dengan mengatasnamakan reformasi, padahal kemarin juga bagian utuh atas rezim lama, ada juga memang pasukan reformasi yang melihat peluang namun belum bisa masuk, ada kelompok reformis yang benar-benar membela bangsa dan negara, dan itu saling bertaut tidak jelas di tengah keadaan bangsa yang masih bersuka ria. Orang sedang bahagia di puncak gunung, lupa saatnya untuk turun an menghadapi kenyataan, yang ternyata jauh lebih sulit daripada ketika melihat saja.

Jokowi.

Tentu akan banyak yang sewot, tidak usah risau, atau perlu membuktikan ini dan itu, nikmati saja kepemimpinan ini, mau nyiniyr buat saja artikel sendiri dari pada mengotori lapak dengan sinisme tidak berdasar itu. Suka atau tidak toh pemerintah sudah sah di dalam pemilu, dituntut ke semua peradilan di Indonesia juga tidak terbukti kalau tidak menang. Ini kesulitan terbesar pemerintahan sekarang, susah membangun karena soal berbeda pilihan saja di pilpres lalu. Lha mau membangun bagaimana kalau urusannya tidak siap kalah saja.

Keberanian membangun infrastruktur dengan segala analisisnya, baik yang benar ataupun abal-abal, berdasar atau hanya karena iri, namun itu keputusan politis bernegara untuk memberikan akses kelancaran arus jasa dan manusia. Memang hal yang tidak akan seketika bisa dinikmati hasilnya dalam pertumbuhan ekonomi, kemajuan dalam berbagai bidang, seperti orang lapar atau orang kehausan makan langsung kenyang, dan minum hausnya hilang. Perlu waktu untuk melihat hasilnya.

Pembangunan itu juga salah satu kebanggaan bukan semata soal fisik menjadi bagus, lancar perjalanan. Ingat era Bung Karno membangun Senayan, Monas, dan sebagainya, itu kebanggaan sebagai negeri. Anak yang bukan hanya diberi makan kenyang. Namun juga dididik bahwa orang tuanya memberikan perhatian dan kebanggaan. Memang tidak akan mudah dipahami, apalagi jika dilandasi kebencian dan ketidaksukaan karena tidak siap kalah dalam persaingan berdemokrasi.

Gonjang-ganjing politis yang diyakini banyak pihak akan senyap jika dikelola militer sebagai pucuk pimpinan, apa iya? Ingat ini negara, mungkin keamanan dalam arti gaduh tidak penting benar bisa dijamin, namun apakah benar demikian? Bukan semata kamuflase yang seolah-okah tenang, namun dalam hati ngedumel dan tidak bahagia? Pembangunan manusia yang tidak utuh dalam jangka panjang. Dua pengalaman kepemimpinan militer yang bisa dilihat apa hasilnya, jujur lho ya. Memang stabilitas bisa tercapai, bidang lainnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun