Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi itu Sikap dan Perilaku, Bukan Sekadar Wacana dan Definisi

27 Mei 2018   06:00 Diperbarui: 27 Mei 2018   08:11 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: hidayatullah.com

Toleransi itu sikap dan perilaku, bukan sekadar wacana dan definisi, sering orang bertikai karena perbedaan difinisi dan sudut pandang, jauh lebih esensial adalah melakukan. Sejatinya sederhana kog, tidak perlu berpanjang lebar apalagi sampai mengupas Kitab Suci masing-masing, salah-salah malah jadi sesat dan berkepanjangan. Kalau tidak mau dicubit jangan menyubit, sesederhana itu.

Lagi dan lagi, saya mengambil kisah inspiratif Burung Berkicau dari Antony de Mello, dalam salah satu kisahnya ia menuturkan, seorang wisatawan kagum akan penuhnya aktifitas rumah ibadah di sebuah kota. Semua rumah ibadah ramai dan semarak. Ia memuji kota tersebut dan mengatakan pada si pemandu, saya terkesan dengan kota ini, tentu warga di sini begitu mencintai Tuhan.

Jawaban si pemandu cukup mengagetkan, ketika ia mengatakan entahlah, mungkin mereka menintai Tuhan, namun mereka saling membenci setengah mati. Katanya dengan sinis.

Kisah ini mengingatkan akan pernyataan gadis kecil, siapa si kafir dan ia menjawab orang yang tidak pernah bertengkar karena agama. 

Seminggu lalu, ada tamu, teman lama, salah satu rekan menjadi warga negara Amrik, nah pas mudik, pengin ketemuan, dua puluh tahun tidak bertemu. Rekan yang datang ini satu Chines, baru beberapa bulan lalu, ketemu, satunya Muslim, lulusan pesantren beberapa tahun lalu ketemu. Nah di sinilah toleransi itu terjadi, bukan wacana. Kami makan dan minum dan ngobrol ya biasa saja, dia mengatakan santai saja, memang dia jauh lebih dekat dan akrab dengan saya, dengan kedua rekan lain tidak seakrab dengan saya. Dia motreti kami yang sedang makan dan minum, tanpa ada perasaan apa-apa. Kami juga nyaman, dia pun biasa saja.

Pas saatnya sholat, dia saya tawari mau ke musolha yang hanya kurang 100 meter, atau masjid kisaran 150 meter, atau mau di rumah, dia memilih di rumah. Padahal dia juga tahu ada salib di sana, ada gambar-gambar dan ikon khas Katolik, toh tidak ada persoalan yang berarti.

Rekan-rekan grup SMA, setiap hari becanda aku ra kuat, rekan lain mengatakan, nek rakuat aja dipeksa, sesuk jik ana dina. Apakah ini mengurangi kadar keimanannya? Jelas hanya Tuhan yang tahu kadar iman dan motivasinya beribadah. Toh selama ini juga tidak ada yang menghujatnya sebagai  tidak pantas. Saya yakin mereka masih berpuasa, hanya becanda untuk saling terhubung. Biasanya akan juga disambung, pop mie enak ini, satunya akan menjawab soto pojokan buka jam piro?

Toleransi itu sejak dalam pikiran, jika dalam pikiran saja sudah curiga, rekan lain itu sebagai musuh yang akan membuat imannya goyah, ya tidak akan selesai, perselisihan yang jauh lebih  mengemuka. Bagaimana jernih melihat sifat hakiki manusia yang hidup dalam keberagaman. Perbedaan bukan untuk menjadi bahan ribut namun membangun persaudaraan di dalam keindahan warna kehidupan.

Toleransi itu bukan semata wacana, ide, definisi, namun perilaku. Sering orang mengatakan toleran namun dalam pikiran dan perbuatan berbeda. Di sinilah masalah, bangsa ini sering ribut pada hal yang artifisial, hafalan, namun abai akan yang esensial. Ribut definisi, perilaku nol besar. Perilaku yang sepenuhnya tidak saling memaksakan kehendak dan keyakinan.

Bangsa ini bangsa yang religius, semua beragama, bertekun di dalam perilaku beragama, dan juga dalam hal yang diwajibkan, bahkan yang fakultatif pun begitu getol, dalam Katolik misalnya ziarah, atau novena, jangan tanya mereka begitu rajin, namun apakah penuh kasih? Nanti dulu.

Toleransi menjadi masalah ketika orang justru memberikan sikap baik ini pada perilaku jahat. Labeling menjadi kendala, pemikiran sektarian, kesamaan ini dan itu menjadi pemberi nilai plus untuk memberikan toleransi. Bagaimana perilaku ini malah menjadi gaya hidup baru berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun