Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan, Tidak Semata Hapalan, Termasuk Kesulitan

22 April 2018   08:19 Diperbarui: 22 April 2018   09:40 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan, Tidak Semata Hapalan, Termasuk Kesulitan

Pendidikan, tidak semata hapalan, termasuk kesulitan, beberapa hari ini, media ramai dengan perbincangan mengeni guru menampar murid. Lucu dan anehnya media memberikan porsi pada sisi HAM, Komnas Anak, keriuhan semata dengan mewawancarai artis tanggapan soal ini, tanpa ada satupun praktisi pendidikan, atau guru yang dimintai pendapat. Eh tiba-tiba ada berita, anak Sekolah Dasar di Purwakarta  membawa senjata tajam dan diduga untuk "menyerang" sesama anak yang setara. Akhirnya polisi datang dan menjadi urusan polisi, meskipun tidak sampai menjadi berkepanjangan.

Diwaktu yang sama ada rekan yang membagikan video di grup mengenai pendidikan dan tantangan atau kesulitan. Anak yang tidak dibiasakan untuk mendapatkan kesulitan, misalnya atas nama kasih sayang, menyusun jadwal saja ibu atau asisten rumah tangganya, atau membawa tas saja yang menjemput, padahal itu tanggung jawab si anak, nanti akan menjadi pribadi yang menyalahkan jika menghadapi kegagalan atau kesulitan yang dihadapi.

Salah seorang rekan guru yang di rumahnya sekaligus les privat, pernah didatangi orang tua murid les dengan syarat luar biasa "ngawurnya", orang tua tersebut bertanya, apa di bimbel rekan saya itu memukul anak kalau anaknya tidak rajin, tidak cermat, dan tidak pinter? Teman saya yang memang bukan tipe guru yang mengedepankan tangan dalam pendidikan menjawab tidak, dan orang tua tersebut tidak jadi mendaftarkan anaknya les di sana.

Saya sebagai pribadi yang pernah jadi guru, tahu persis bahwa tidak mudah mendidik itu. Kelas apalagi jika mengajar semua atau banyak kelas, per minggu lebih dari 20 jam mengajar, tingkat ketegangan sangat besar. Ini pertama. Kedua, jenjang pendidikan juga menentukan bagaimana kita menilai hukuman fisik. Meskipun tidak menyalahkan sepenuhnya guru penampar murid ini, kesalahan si pendidik di sini adalah mengapa harus "pede" merekamnya. Ketiga, sering orang berbicara ranah ideal, seharusnya, baik ahli psikologi, ahli pendidikan, apalagi dewan, tapi yang di hadapi adalah manusia, yang tidak ideal, si guru pun bukan yang ideal.

Jadi, penghakiman tidak bisa dengan serta merta menyalahkan si guru semata. Saya bertanya, sebagai orang tua, siapa sih yang belum pernah membentak minimal, atau menjewer, menyubit buah hatinya?  Jika ada, hebat, secara umum, sudah pernah dengan keinginan untuk mendidik tentunya.  Pun guru juga demikian. Namun jika guru itu memukul murid sebagai gaya pengajaran yang umum, tanpa sebab, dan mudah tersulut emosinya, setiap bulan ada yang patah tulang misalnya, jelas ini bukan pendidikan namun kriminal.

Namun jika baru sekali, atau dua kali langsung pidana, apalagi levelnya menengah atas, sudah didik saja sendiri, coba jadi apa anak tersebut. Beda kasus jika terjadi pada jenjang pendidikan sekolah dasar lah, sekali tindakanpun memang pantas masuk ke polisi.

Kekerasan memang tidak patut dalam dunia pendidikan. Sepakat bulat, tidak peank untuk ini, namun pemidanaan atas perilaku aksidental atas kekerasan pabgi pendidik, bukan perilaku bijak. Pendidikan itu bukan semata menghapal pelajaran, namun juga meluruskan apa yang tidak patut. Lihat bagiamana mengatasnamakan psikologi anak kemudian membolehkan anak membacok rekannya, sebagaimana anak SD di Purwakarta tersebut?

Di masa lalu, guru menampar murid dan lapor orang tua akan ditambahi oleh bapaknya, bukan malah membawa lapor ke polisi. Mengapa? Karena orang tua tahu dan percaya guru melakukan itu demi pendidikan. Guru pun melakukannya bukan demi meluapkan emosi karena marah dengan istri atau anak di rumah. Ada saling pemahaman posisi masing-masing. Dan kini cenderung orang mengedepankan kepentingan sendiri.

Atas nama cinta, orang tua sering mengambilalih "kesulitan" anak yang masih sekolah. Membantu boleh, bukan mengambilalih dan mengganti peran. Bahaya di kemudian hari anak menjadi lemah daya juang dan kuat di dalam menghadapi kesulitan. Bisa menjadi masalah serius, padahal sebagian besar demikian. Coba anak tidak membawa buku karena orang tua atau si mbak tidak menyusun dengan benar, dan ini konkret sudah terjadi, tanpa merasa bersalah.

Tanggung jawab dan kesulitan itu bagian utuh pendiikan, jangan salah memahami apalagi memiliki paham yang salah, ketika guru meminta  siswa mengerjakan PR itu bukan membebani, namun membina. Di sinilah kekacauan antara pendidikan dan cinta, jadi wajar kalau semua hal menjadi kacau. Logika bolak-balik yang dibangun oleh sebagian elit telah merasuk dalam keluarga dan pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun