Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Karakter dan Permasalahannya

22 Januari 2018   08:20 Diperbarui: 22 Januari 2018   09:27 6541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan karakter dan permasalahannya, hari-hari ini, banyak pemberitaan mengenai kekerasan di kalangan anak sekolah, pornografi yang pelakunya anak sekolah, daan berbagai berita bohong, fitnah, tuduhan-tuduhan tidak mendasar, oleh para politikus dan rekan-rekannya. Semua itu tentu berkaitan dengan karakter dan secara khusus yang melibatkan siswa-siswa sekolah menengah.

Jangan dipikir perilaku elit yang mau colong, maling teriak maling, presiden yang sudah purna menuduh pemerintah yang sedang berjalan sebagai pelaku kriminalisasi, berita bohong, setengah fakta, dan begitu banyak masalah, bukan bagian dari buruknya pendidikan karakter. Bisa saja dulu dididik dalam pendidikan yang baik, namun ternyata tidak bertahan lama dan ikut arus.

Dalam buku Pendidikan Karakter, Doni Kusama, seorang pengamat pendidikan menyatakan ada tiga masalah mendasar dalam pendidikan karakter. Pertama mengenai tanggung jawab guru di dalam sekolah. Kedua, pelatihan dan penyegaran ketrampilan dan kemampuan yang minim, Ketiga,jauh lebih mendesak, karena ketidakpahaman apa yang maksud dan dimaui dengan pendidikan karakter tersebut. Jelas bagaimana pelaku utama, fasilitator, dan yang memegang kunci saja  memiliki kondisi yang tidak mudah.

Peran guru di dunia pendidikan Indonesia itu penuh dengan tanggung jawab yang sering lepas dari peran sebagai pendidik. Beban jam mengajar yang cukup tinggi, 24 jam untuk mendapatkan status guru bersertifikat, belum lagi koreksi, penanggung jawab ini dan itu. Tenaga dan waktu bisa habis terkurang termasuk tenaga. Masih juga tanggung jawab kegiatan ekstrakurikuler, yang akan menggerus tenaga dan waktu, apalagi memikirkan karakter peserta didik, mungkin karakternya sendiri saja tidak bisa diyakini kualitasnya. Belum lagi jika masih memberi les baik resmi di sekolah atau di luar. Jelas makin habis segalanya. Beban kurikulum yang begitu tinggi, susah juga untuk guru bisa menyelipkan salah satu atau beberapa tema mengenai karakter. Tidak akan nutug jika harus ditambah dengan pendidikan tambahan, apalagi untuk pelajaran yang memang "lepas" dari humaniora, seperti matematika, fisika, dan seterusnya.

Pelatihan dan penyegaran untuk guru agar bisa memiliki kualifikasi pendidik, apalagi pendidikan karakter sangat minim, memang banyak wadah dan kegiatan untuk itu, tapi apakah bisa dilakukan dengan baik dan maksimal, melihat point pertama tersebut.  Misalnya dilakukan pada hari Minggu atau libur, jelas sangat tidak efektif dan efisien, karena itu waktu untuk keluarga dan tentu sangat susah untuk melakukan pelatihan dan penyegaran. Waktu mereka untuk keluarga dan masyarakat makin minim.

Kegamangan mau apa dengan pendidikan karakter juga sangat besar. Gembar-gembor untuk berperilaku jujur, toh mengaji, mengarang biji,mengarang nilai hal lumrah terjadi. Bagaimana tidak politik negeri yang acak kadut merusak semuanya, termasuk dunia pendidikan. Tontonan baik hiburan dan berita sama saja, setali tiga uang, pelaku korup malah seollah raja bisa senyam senyum. Perilaku elit dan politikus yang bak babi buta membela pelaku kekerasan karena satu barisan demikian vulgar terjadi. jangan anggap anak tidak tahu. Mereka justru mendapatkan pelajaran konkret, fakta, pengalaman, dan bukan terori di sekolah yang dibuihkan guru.

Apa sebaiknya yang bisa dilakukan?

Sistem pendidikan nasional yang harus dibenahi. Tidak perlu mengaca Finlandia, Denmark, atau Mars sekalipun. Begitu banyak sekolah baik dan sukses, bukan semata nilai akademik, namun juga karakter, mengapa bisa demikian, kemauan. Belajar dari sana, lepaskan label karena ini dan itu. Pendidikan ya pendidikan bukan label yang ada di sana.

Rekrutmen guru dan pendirian sekolah. Satu kesatuan utuh, guru ala kadar membuat kacau. Bagaimana mereka mengajarkan sedang mereka sendiri bingung. Pun sekolah, banyak sekolah didiirikan dengan misi bukan demi pendidikan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan sistem politik dan tata negara yang masih kacau balau. Sekolah baik, berkelas, dan berkontribusi karena label mati suri.

Keteladanan, ini jelas karakter, sikap mental, dan pilihan. Siapa yang memulai semua saja. Bagaimana orang bisa berlaku baik, ketika elitnya saja menawarkan, memberikan contoh, dan perilaku buruk dan busuk. Korupsi, terorisme, dan narkoba adalah hasil pendidikan yang buruk. Orang tidak bisa memilah dan memilih, membedakan baik dan buruk saja sesuai dengan kepentingan. Ini bukan soal yang sepele dan sederhana. Apa yang dimaui oleh pihak satu bisa dimentahkan kelompok lain karena beda pandangan politik. Kacau semua. Kebaikan, kebenaran, dan nilai sepanjang di dunia memang masih nisbi, toh ada kebenaran, kebaikan, dan nilai yang mendekati obyektif, lebih menjangkau semakin banyak pihak, dan itu ada rabu-rambunya hidup berbangsa,  yaitu Pancasilan.

Taat konsensus dan azas. Selama ini semua konsensus bersama hanya bagian dari slogan, hanya wacana manis, namun perilakunya bertolakbelakang dengan itu semua. Bagaimana akan tercapai kualitas bangsa jika demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun