Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KTA Deddy Mizwar, Kaderisasi Abal-abal ala Parpol, dan Mindernya PKS

6 September 2017   18:56 Diperbarui: 7 September 2017   06:02 2763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Soal KTA Demiz sebenarnya jamak terjadi di dalam perpolitikan di sini. Asal comot tokoh terkenal, populer, dan menjanjikan. Ini kisah lama, penyakit akut partai politik, apapun ideologinya, siapapun pimpinannya. Semua identik. Menarik adalah apa yang terjadi, seolah membalikpilkada DKI yang sukses bagi Gerindra tidak demikian bagi PKS. Toh semua paham pilkada DKI itu seperti duet Gerindra, PKS malah hanya timses, saat tiba-tiba Anies nyelonong diajukan untuk mendampingi kader Gerindra Sandiaga Uno, yang memang masuk dalam kepengurusan Gerindra.

KTA dan Kaderisasi, Demiz menyatakan soal KTA sebagai anggota Gerindra tinggal soal teknis, bisa mencetak atau hal remeh lainnya. padahal selama ini ia jauh lebih dikenal sebagai simpatisan PKS apalagi kebersamaan dengan pilkada periode lalu dengan Aher yang memang PKS dan diusung juga PKS. Tentu bahwa hal ini jelas untuk menjaga kondusifitas perpolitikan dan pilkada, seolah tak elok jika keduanya separtai, karena wakilnya kader mereka. Padahal tidak ada salahnya bukan, karena toh di Jakarta malah mereka sebagai motor tidak mendapatkan apa-apa. justru Geridnra yang untung besar. Sebenarnya ini adalah ironi besar bagaimana kader yang berjuang dengan suka rela dari bawah bisa saja terpental karena tidak ada modal kapital ataupun sosial sementereng kader comotan begini. Demiz jelas lebih populer karena wagub periode lalu, tapi tidak juga moncer dalam kinerjanya, masih juga main iklan.

Kaderisasi dan popularitas. Susah memang ketika demokrasi masih berkisar pada popularitas entah dari mana, kadang populer karena tindak asusila pun masih bisa menang dalam sebuah kontestasi politik negeri ini, atau pelaku kejahatan kriminal luar biasa korupsi pun masih bisa berani dengan gagah perkasa maju dan menang. Coba bandingkan dengan kader akar rumput yang menggelorakan semangat dan ideologi partai, namun di belakang layar, tidak menjadi kesayangan media, tidak suka menanggapi isu dengan heboh, atau mengirim tanggapan ke media, mana mereka tenar? Lebih parah lagi tidak ada dana untuk menyokong gerakan partainya, jangan harap dapat menjadi elit di dalam level pilkada dan seterusnya.

KTA tiba-tiba, ideologinya mana? Tidak ada bangsa ini kalau kader partai tiba-tiba muncul begitu saja, KTA dengan mudah dicetak, padahal namanya partai politik idealnya,memiliki namanya ideologi. Mau memiliki iedeologi bagaimana kantor saja banyak yang tidak memilikinya. Bagaimana semangat yang sama bisa dibangun, jika dengan mudah beralih seperti permainan bocah lintang alehsaja, kemarin partai agama, esok nasionalis, lusa balik lagi ke partai politik berbasis agama. Sejatinya KTA adalah bukti sahih bahwa pribadi itu telah menjagi anggota sekian lama, menjalani proses pendidikan, proses kerja sebagai anggota sekian lama. Apalagi untuk menduduki sebuah jabatan, bukan tiba-tiba dan jadi begitu saja.

Politik mahal dan politik kader. Kembali alam demokrasi yang masih belajar ini suka atau tidak masih level kemenangan bukan proses. Tidak heran sekarang orang berhitung untuk menang perlu sekain suara, tinggal kalikan dengan rupiah dan pasti kena. Artinya, bahwa kemenangan dengan uang bukan dengan kerja keras. Kaderisasi itu proses panjang, kerja keras, dan kerja cerdas di dalam kehidupan berpolitik. Sayang hal itu belum menjadi gaya hidup di dalam berdemokrasi bangsa ini. lebih banyak mengedepankan potong kompas dengan mengambil tokoh "jadi" daripada menciptakan kader handal. Jarang kaderisasi dilakukan partai politik di manapun berada.

Gamangnya PKS. Soal ini ternyata seolah menjadi trauma bagi PKS. Jelas memiliki kader, suara cukup signifikan, namun karena pamor mereka yang sempt porak poranda, membuat mereka selalu di belakang. Jakarta tidak dapat, di depan lho, di belakang pasti lah dapat, struktural pun pasti mereka miliki. Jawa Barat sebenarnya tidak salah jika Demiz tidak ada KTA Gerindra, toh Anies juga tidak ber-KTA PKS bukan? Dia gamang melihat citranya sendiri. Susah karena tidak sempat konsolidasi usai badai besar korupsi dan bagi-bagi kue korupsi. Di dalampun soliditasnya lemah. Kader tenar banyaak membuat blunder, kader populer sering salah komentar, kelihatan ada saling sikut untuk mencapai keinginan pribadi bukan kebersamaan di dalam partai.

Kaderisasi partai satu ini justru yang paling baik, dalam arti tertentu lho, namun mengapa tidak menghasilkan kader terbaik? Terlalu cepat ingin memetik hasil. Mereka tetap terlena dengan manisnya kekuasaan, sehingga enggan berproses, toh yang lain juga demikian. Ini yang membuat mereka susah payah karena idealisme dan realitas yang belum terjembatani. Banyak faksi yang menghendaki yang berbeda-beda pula. Bagaimana mereka bisa berkata kaderisasi kalau tawaran sebelah menggiukan dengan potong kompas?

Persoalan klasik bangsa ini, ketika ideologi partai politik tidak ada, ideologi bangsa saja banyak yang tidak setia, diperparah dengan demokrasi akal-akalan, dan petualang politik yang haus kuasa. Persoalan mendasar politikus ada di sini. Tidak perlu kaget lahirlah politikus hanya kenal konstituen lima tahun sekali.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun