Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPR Malu Kantor Bobrok, Gak Malu Tidak Bekerja Maksimal

13 Agustus 2017   06:23 Diperbarui: 11 September 2017   10:50 1497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ide membangun apartemen dulu identik megaproyek yang tujuh gedung, diabaikan presiden, menjelang pidato kenegaraan. Model memalak presiden, gaya kerja ala dewan tak kenal malu. Anggota berkomentar soal ide tersebut memang sahih. Beberapa hal patut disebutkan, malu kantornya bobrok, kalah dengan kantor polsek, kalau kinerja jangan diukur dari UU yang dihasilkan.  Benarkah mereka memang memalukan atau membanggakan?

Kantor bobrok, menarik apa yang mereka katakan, kalau kantor bobrok bisa dibenahi, kalau mental mereka yang bobrok?  Susah  membangun mental mereka yang sangat buruk,  bukan semata bobrok malah. Kalau kantor mereka dibandingkan mapolsek, mengapa perilaku mereka yang buruk tidak dibandingkan dengan  maling sekalian. Mereka bisa berteriak KPK yang melanggar HAM, mereka lupa apa kalau maling anggaran, ribut soal kepentingan sendiri juga melanggar HAM, atau mereka lupa kalau absensi mereka sangat buruk? Mana bukan makan gaji buta, itu tidak melanggar HAM?

Tugas mereka hanya tiga, coba hasilnya benar seperti klaim mereka atau malah sebaliknya, kalah dengan anak sekolah dasar yang memiliki banyak tugas, semua kelar lho. Matematika tugas, agama tugas, IPA tugas, IPS tugas, lah mereka tugasnya mana pernah kelar dan beres? NOL BESAR, level MEREKA PLAY GROUP yang tidak ada tugas.Almarhum Presiden Gus Dur menyatakan anak TK ini lebih rendah lagi.

Tugas Pengawasan, atau pagar makan tanaman

Pengawasan yang mereka banggakan itu pun bolong, bocor, bahkan berlubang di mana-mana. Mereka bukan mengawasi malah maling utamanya. Bagaimana soal KTP-el, Hambalang, dan aneka tangkapan KPK yang berpusat pada mereka. Artinya, anggaran sebelum diketok sudah dirancang untuk dimaling sekian persen.  Coba mana pengawasaannya. Susah kalau pengawasnya itu maling alias pagar malah makan tanaman. Susah dicari ke mana larinya maling kalau malingnya punya kuasa pengawasan dan buat hukum lagi. Jatah preman jauh lebih patut, mereka ini sudah digaji, bersumpah, perilaku maling dan tamaknya tidak kurang-kurang. Menyalahkan KPK yang tidak benar, lha kalau pengawasan mereka kuat, ketat, dan pada tempatnya, maling tidak akan merajalela, mereka malah minta upeti jauh lebih besar dengan aneka macam.

Legislasi, inisiatif rendah, tidak tanggung jawab lagi.

Salah satu legislator bilang kalau jangan menilai mereka dari UU yang dihasilkan. Bolehlah, karena memang mereka malas. Tanda tangan saja lelet, tarik ulur kepentingan sendiri dan kelompok. Inisiatif sangat lemah, atau memang tidak mampu? Sikap bertanggung jawab juga sangat rendah. UU yang digugat ke MK sering mereka tidak datang, hanya pihak pemerintah yang datang. Mereka ditengarai takut karena tidak mampu menjawab jika dicecar oleh hakim dan juga pemohon. Mereka di ranah ini tahu diri. Masih lumayanlah. Hanya memalukannya tidak tanggung jawab, tapi kalau mengatakan lembaga lain, seoalh mereka pekerja keras paling hebat di muka bumi.

Anggaran, mereka ini jagonya, ngembat.

Satu yang sudah terbukti di periode lalu, dua sisi dari legislatif dan eksekutif satu partai politik ada uang THR yang kedua-duanya masuk ke bui. Artinya, mereka biasa memalak eksekutif untuk dana ini dan itu. Ini hanya contoh kasus yang terungkap, jauh lebih  banyak yang tidak terbuka, karena kekuasaan untuk menekan ala preman mereka. Anggaran mereka membicarakan bersama bagaimana negara membuat anggaran belanja, bukan main ancam pembekuan demi kepentingan mereka.  Malah pernah mereka mau menggunakan anggaran, pengawas sekalian mau menggunakan, hebat tidak, hanya membicarakan saja maling apalagi memakai uangnya.

Coba dari ketiga tugas itu berapa persen yang bisa mereka lakukan?  Jika skala 1-10, paling mentok mereka di bawah lima. Hanya satu dua anggota dewan yang bisa bekerja dan mau bekerja. Apalagi jika kasus KTP-el yang "menewaskan" saksi kuncinya ini terungkap dengan terang benderang, bukan hanya gedung bobroknya yang roboh anggotanya yang bobrok tentu juga roboh tidak berbekas.  Semua partai politik menikmati, pimpinan dewan dan partai politik disebut-sebut, coba mana bisa mereka melakukan pengawasan sedang mereka sendiri kekenyangan uang, mau ada tikus di depan hidungnya kucing kenyang akan tetap mendengkur.

Mengapa tidak malu tidak bisa bekerja selalu saja minta fasilitas. Kantor mau buruk atau bagus kalau berkualitas akan menghasilkan hal luar biasa. Kantor bagus, mewah kalau mentalnya maling sama saja akan menimbun demi kepentingan diri sendiri.  Masih jauh dari saja sudah tidak konsen  bekerja, apalagi nanti mendekati pemilihan umum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun