[1]Menurut Erasmus Napitupulu, upaya mengubah KUHP sudah dilakukan sejak periode 1960-an, untuk mengeliminasi hukum kolonial. Erasmus pun mencontohkan sejumlah pasal dalam KUHP yang dianggap masih menganut sudut pandang kolonial. Misalnya hukuman mati, kerajaan belada telah menghampus hukuman mati sejak 1870 dengan alasan keberadaban.
Namun hukuman itu masi ada di Wetboek van Strafrecht pada 1918 karena bangsa Indonesia dianggap harus di hukum yang saksinya harus tegas,dan sampai sekarang indonesia masi mengunkan hukuman mati yang di terapkan dulu dari hukum belanda.
Salah satu pilar Grand Desing sistem dan politik hukum nasional adalah prinsip bahwa hukum mengabdi pada kepentingan bangsa untuk menmanjukan negara dan memajukan pilar demokrasi dan tercapainya kesejateraan rakyat.
Oleh karena itu produk hukum yang di hasilkan adalah hukum yang konsisten dengan falsafa negara, mengalir dari landasan konstitusi UUD 45, dan secara sosiologis menjadi saranan untuk tercapainya keadialan dan ketertiban masyarakat. [2]
 Jadi dapat di simpulkan bahwa produk hukum yang sesuai dengan negara indonesia adalah produk hukum yang berdasar kan falsafa bangsa, dan ideologi bangsa sebagai dasar bagi  produk-produk hukum yang akan mengantikan produk-produh hukum kolonial  yang masi di pakai di negara kita tercinta ini
 Pasal-pasal yang kontroversial dalam RUU Undang-Undang Kitab Pidana
RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan 193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15 tahun.
Pasal 167 menyebut: "Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut." Menurut analisis Aliansi Reformasi KUHP, definisi makar di dalam RUU KUHP itu tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni 'aanslag' yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan berekspresi masyarakat sipil.
SaranÂ
Indonesia merupakan negara hukum, Â yang tidak sewajarnya sekarang masi mengunakan produk hukum kolonial untuk mengatur masyarakat Indonesia, karena hukum ini tidak lagi cocok digunakan pada masa ini sudah saatnya pemerintah Indonesia sudah bisa berdiri sendiri dalam membuat produk hukum yang mengunakan fasafa bangsa dan ideologi bangsa Indonesia sendiri angar kedepanya hal-hal yang kemukinan buruk terjadi, tidak akan perna terjadi di akibatkan karena Negara ini masi mengunakan Hukum kolonial.
daftar pustaka