Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Refleksi: Memulung adalah Kenikmatan yang Abadi

19 Januari 2022   05:24 Diperbarui: 19 Januari 2022   13:47 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar: nasional.kompas.com

Terlintas dalam benak saya tentang kalimat "Memulung adalah kenikmatan yang abadi". Pastinya kalimat ini mengandung makna mendalam. Apalagi diucapkan oleh seorang Doktor Lulusan Uni Sovyet, Soesilo Ananta Toer. Akhirnya kalimat itu dicerna kedalam setiap kunyahan makanan dan dicerna oleh usus, menjadi energi untuk bergerak. Mengendapkan kalimat itu sedalam-dalamnya dan mengetahui pemaknaan yang mendalam. Satu per satu kalimat mulai terlontar dalam wujud pemikiran tanpa dasar. Tanpa intervensi dari pikiran, ego dan berbagai macam kepentingan diri yang harus terwujud didalam diri. Poin utamanya bukan masalah memulung, tetapi lebih merujuk pada satu kata yang leksikal yaitu kenikmatan yang abadi. Seperti unik dan aneh, mengapa memulung menjadi kenikmatan yang abadi.

Bercermin kedalam diri sendiri, benarkah apa yang telah kita jalani telah membawa pada kenikmatan yang abadi? Mulai dari lahir, untuk apa kita lahir? Apa tujuannya? Bagaimana setelah lahir? Akan menjadi apa? Sederhananya, setiap orang tua memiliki harapan yang tinggi terhadap anaknya. Menjadi orang yang sukses, lebih baik kehidupannya, berbakti dan taat pada agama. My Life is as good as my mindset, that's true! Kembali lagi ke mindset dan pemahaman diri. Ada yang berpendapat, hidup yang penting lempeng/lurus-lurus saja yang penting enggak neko-neko. Ada yang suka ribet tapi enggak suka bikin ribut. Ada lagi yang suka ribut tapi enggak bikin ribet. Ada orang yang mengatakan kenikmatan hidup itu ketika sudah mendapatkan harta yang berlimpah ruah, kaya raya, bisa membeli dan melakukan apapun. Sementara yang lain berpendapat, kenikmatan hidup ketika sudah cukup makan dan minum saja serta hidup damai dan tenang. Seperti menjalani kehidupan berbalap-balapan tetapi tidak dalam arena balapan? Coba tarik kedalam diri sendiri? Enggak masalah sih beda mindset, itulah pilihan hidup, perbedaan adalah fitrah manusia dan karunia yang harus disyukuri.

Pada akhirnya, mindset akan menentukan cara pandang dan bagaimana harus melangkah untuk mendapatkan kenikmatan hidup. Orang yang memilih hidup sederhana, menikmati segala rutinitasnya dengan pola kegiatan yang sudah terbentuk setiap hari. Orang yang memilih hidup itu harus kaya maka mengejar kenikmatan itu dengan bekerja dan mencari cara untuk menjadi kaya raya. Orang yang mengharapkan hidup tenang dan damai akan berusaha dengan segenap kemampuannya dan mencari ketenangan dengan berbagai cara seperti berbagi kepada sesama dan lain-lain.

Mari kita telaah lagi, apa yang membedakan itu semua? Orang yang sederhana, yang kaya, yang hidup tenang mendapatkan kenikmatannya masing-masing kok. Mereka menjalani rutinitas untuk meraih kenikmatan hidup. Mereka semua berbagi kepada sesama dan menjalani kehidupan dengan baik. Kita dan mereka menghirup udara yang sama dan memandang langit yang sama. Hal yang membedakan kita adalah pemahaman dan kurangnya sikap penerimaan atas perbedaan. Yang ada hanya konflik pergeseran nilai dan makna.

Jika di meja makan ada saus, mie instan dan susu. Bagaimana kita menyatukan susu dan saus menjadi satu?

Apa iya kita harus mencampurkan susu dan saus dalam satu wadah gelas agar mereka bersatu? Tentunya akan mengubah tekstur rasa dan kualitas minuman jadi amburadul. Cara sederhananya, taruh saus ke mie instant, aduk dan campurkan, masukkan kedalam mulut dan kunyah. Setelah itu, minum susu. Oke, clear kan? Rasanya tetap sama, saus masih pedas dan gurih, susu tetap manis dan enak. Mereka bersatu? Iya, bersatu didalam mulut dan masuk ke perut, malah menjadi sumber energi tanpa memaksakan susu dan saus menjadi satu dan mengubah rasanya. Menyikapi perbedaan bukan dengan memaksakan, tetapi butuh pemahaman dan sikap penerimaan.

Dari awal sikap itu, kita akan merasakan kenikmatan hidup yang abadi. Artinya apapun yang sudah diperbuat manusia sama saja dong? Orang yang sudah berbuat lebih banyak sama, orang yang berbuat standar juga sama, orang yang tidak berbuat apa-apa juga sama? Nah ini, pikiran nakal berkedok kritis kita saat ini. Menyikapi kehidupan yang luas ini, kita memerlukan pemahaman dan pemaknaan yang mendalam. Kembali lagi pada pertanyaan untuk apa kita hidup? Meraih kehidupan bahagia di alam keabadian. Jangan sampai tertipu oleh tipu daya diri sendiri. Merasa sudah melakukan dan akan meraih kebahagiaan di alam keabadian malah sebenarnya semu. Bagaimana segala mindset,perbedaan dan segala bentuk pencapaian yang telah diraih menjadikan kita mengenal dan diri sendiri dan mengenal Sang Pencipta. Simpul utama kenikmatan yang abadi adalah mengenal siapa yang menciptakan kita selama ini. Berpegang teguhlah! Simak diri sendiri tanpa menghakimi, simak orang lain tanpa menghakimi. Tarik kedalam diri sendiri, tanyakan pada jiwa dan raga bagaimana merasakan kenikmatan hidup yang abadi?

Tangerang, 19 Januari 2022

Salam


Sri Patmi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun