Mohon tunggu...
R Sandre
R Sandre Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca

membaca menulis menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Batavia

22 Januari 2023   06:00 Diperbarui: 29 Januari 2023   18:38 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinar rembulan lindap saat aku menolak permohonanmu. Pembuluh darah di sekitar wajahmu sontak membesar. Kau kesal. Lalu membuat jarak. Berdiri memunggungiku. Sorot matamu terlempar ke segala keremangan laut di hadapanmu. Tak jauh dari reruntuhan rumahmu. 

Seandainya mendung sudah lesap, bulan purnama pasti akan memberi kita rasa puas memandangi keindahannya. Dahulu, laut yang sedang kau pandangi pun adalah akuarium raksasa yang indah, dan karena itu disenangi kaum Jan Pieterzoon Coen. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan penelitian yang mendalam dengan mendirikan Laboratorium voor Onderzoek der Zee. 

Sebelum bernama Kampung Akuarium, kampungmu adalah kawasan Bandar Sunda Kelapa yang ramai. Banyak orang asing datang melihatnya. Berdecak kagum. Tergila-gila. Mereka bahkan ingin mengeruk segala kekayaan yang dikandungnya.  Aku tak heran, mengapa orang-orang pribumi gigih mempertahankannya. 

Kau masih kelu. Aku juga masih terabai di belakang punggungmu. Beberapa depa jaraknya. Menanggung pembiaranmu, rasanya bagai pungguk kesepian.  Sesekali, aku harus mendongak ke bungkahan mendung kian menebal itu. Mungkin saja, hujan sedang menuju ke tempat kita. "Aku tahu tujuanmu mulia. Tetapi sungguh, aku nirkeberanian melakukannya bersamamu," pungkasku.

Tubuhmu tetap tegak. Embusan angin laut tak henti mencumbuinya. Aku cukup khawatir. Meski sebenarnya, aku tahu kau perempuan yang tak betah lama terdiam. Kau lebih suka sering meronta seperti tingkah ikan masih belia. Aku pikir, sebentar lagi kau akan menjawabku juga. Dan memandangi kembali wajahku. 

"Riak amarah kita tidak akan pernah sama!" ucapmu. Membiarkan tubuhmu mematung. "Kau tidak mengalami sendiri derita orang terjajah sepertiku. Dihina mulut kotor penguasa. Rumahku dirobohkan secara paksa. Semena-mena. Di sini!" entakmu, yang ternyata tanpa melihat raut wajahku.

"Bukan begitu!" aku membela diri. Menghela nafas. Amarahmu seakan menderu. Membaur dengan serbuan angin yang datang mengencang.  Serta-merta aroma amis ikan pari merubung lubang hidungku. Aku bergeming. Mendekatimu.

Tak terasa, kita sudah lima purnama menjalin hubungan. Kalau tak ada aral melintang, kita akan menikah pada bulan purnama yang akan datang. Sesuai janjiku: enam purnama. Namun, hingga bulan purnama ke lima, di tempat pertamakali kita berjumpa, kau tak kunjung berubah. Tetap saja seperti sediakala: Penyayang dan pemarah. Akupun tak pernah berharap kau berubah.  

"Memang, kampungku dibangun oleh kompeni. Tapi pemilik sah kampungku adalah kaum pribumi. Kaum yang harus merebut kembali kampungnya sendiri dari penjajah dengan tumpahan darah dan airmata. Aku pewaris kaum pribumi. Rumah-rumah kami adalah hasil dari tumpahan air keringat kami sendiri!" ledakan amarahmu begitu keras.

"Aku akan merundingkannya di balai kota," ujarku. Sengaja menyanggah dengan nada lembut. Berharap bisa menjinakkanmu. "Apa yang ada dalam pikiranmu akan kuutarakan. Aku sangat memahami perasaanmu."

"Kau harus bawa aku dalam perundingan itu. Aku sendiri yang akan mengatakan bahwa kampungku bukan Batavia! Dan penggusuran semena-mena adalah penjajahan yang harus dilawan sampai ke ujung dunia!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Video Pilihan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun