Mohon tunggu...
YR Passandre
YR Passandre Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

menulis membaca menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Mas Gie

16 Desember 2020   05:53 Diperbarui: 28 Desember 2020   22:43 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik mentari yang sejak pagi menimpa hamparan rumput hijau menawan tak tampak lagi dari jendela tempatku berdiri. Selepas makan siang, langit berangsur redup. 

Aku menduga, awan kelam berarak dari utara dan sempat kulihat di depan pintu itu yang merubung wajah sang surya. Dahulu, aku dara desa yang berharap mendung akan sering datang membawakan air ke tetumbuhanku, dari beluntas hingga bunga sepatu.

"Masih di sini? bapakmu sudah menunggu!" ujar ibu mertua, yang sekonyong-konyong sudah berdiri di sampingku. Aku berpaling dari jendela dan bergegas melangkah ke ruang tengah. 

Rumah ini megah. Tiang penyangganya kokoh menjulang. Dari warna dinding yang serba putih cemerlang mencuat kesan mewah perabotnya, yang tak bisa ditutupi kebersahajaan laku penghuninya. 

Bapak mertua dan ibu mertua sangat lekat dengan laku kesederhanaan sampai ke ihwal pakaian dalam keseharian. Aku mengagumi keduanya, dan betapa sederhananya bakmi yang kami nikmati siang tadi.

Meskipun, orang-orang tetap saja menyebut rumah ini "istana".  Ke sinilah aku dibawa Mas Gie--demikian aku memanggil suamiku--sehari setelah pernikahan kami dirayakan gegap gempita. Hingga, kami memutuskan untuk tinggal di desa.

Sebuah desa di lereng gunung yang jauh dari kegemerlapan. Setiap hari rumah terasa sejuk tanpa mesin pendingin. Orang-orang menanam di tanahnya sendiri dan kami membeli hasilnya, mulai sayur mayur sampai buah-buahan. 

Dan, sejenak aku menahan langkah sebelum sampai di depan bapak mertua. "Ke mana suamiku?" batinku. Seharusnya kami duduk berdua di depan bapak mertua. Tak kusangka, bapak mertua menoleh ke arahku, dan aku kembali melangkah.

Bapak mertua tersenyum membalas rekah bibirku yang tersuguh manis mendahului bokongku jatuh di kursi. Aku duduk takzim sambil menunggu senyum lebar bapak mertua habis. Senyum yang belakangan sering terlihat berat di tengah kepenatannya.

"Saya sudah bicara dengan suamimu, kalian tidak usah tinggal di desa lagi," kata bapak mertua.

Tanpa menunggu suaraku, bapak mertua pun menjelaskan panjang lebar niatnya meminta kami meninggalkan desa. Sebelumnya, aku sudah mengira pembicaraan hari ini akan kualami, tapi tak selekas ini. Lebih-lebih, aku dan Mas Gie sedang seru-serunya menjalankan usaha di desa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun