Mohon tunggu...
YR Passandre
YR Passandre Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

menulis membaca menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Perempuan Menunggu Hujan

15 November 2020   16:57 Diperbarui: 12 Januari 2021   08:56 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang asing datang dengan nafsu lebih beringas dari harimau, dan membalak hutan kami sesuka hati. Mereka berdalih membuka kebun sawit yang luas untuk meningkatkan kesejahteraan di tanah Papua. 

Aku tak bisa membayangkan 57.000 hektare hutan telah berganti menjadi kebun sawit. Luasnya hampir sama dengan Seoul, ibukota Korea Selatan. Setidaknya, kami boleh juga hidup bersenang-senang seperti orang-orang di kota Seoul itu.

Nyatanya jauh panggang. Bahkan sagu yang tumbuh riang di tengah hutan lambat laun tergusur dan makin banyak hilang. Itulah mengapa Kaijai mudah tersulut amarah. Padahal sagu memberi kami makan sebelum kapal San Juan yang dinakhodai Ynigo Ortiz de Retez berlayar ke Tidore menyinggahi pesisir utara Papua. 

"Saya menangis, saya sedih! Kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu? Kami jaga hutan ini dengan baik," ratap bibi Elisa. Perempuan suku Malind sepertiku yang hutan adatnya di pedalaman Merauke telah berubah menjadi perkebunan sawit. 

Mengingat itu, rasanya batok kepalaku mau pecah. Terlalu banyak sudah ratapan terdengar di tanah ini. Maka di hadapan orang-orang, bibi Elisa tak canggung sesunggukan menguak getir kehilangan hutan tersayang. 

"Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka!" entak bibi Elisa di siang bolong kemarin, saat beberapa orang dari kota datang menanyakan nasibnya. Aku terpaku, duduk menyangga dagu di sampingnya. 

Aku pun terngiang kata-kata menyayat hati yang diungkapkan Petrus, warga suku Mandobo yang paling menyesal itu. "Saya ambil ikan, daging, burung, sagu, gratis. Saya datang pasti dengan istri anak senyum, senang-senang kita makan. Tidak ada yang keberatan karena ini di atas tanah adat saya sendiri."

Petrus tak tahu bagaimana harus membayar kemalangan saudara-saudaranya, yang pernah dia bujuk untuk bersedia menerima ganti rugi lahan dan kompensasi dari perusahaan sawit. Kini, banyak impian yang dijanjikan berakhir bualan. 

Perasaanku terus digempur oleh ingatan pedih dan menakutkan, sedangkan batang hidung Kaijai belum tampak. Dalam kekalutan, aku kembali melihat bongkahan asap mengepung langit. Daunan di sekitarku seolah memberi isyarat kelu dalam ketakutan. 

Aku makin yakin, Kaijai berada di sumber asap itu. Aku ingin bergegas ke sana. Dia tak boleh dibiarkan sendiri menghadapi orang-orang dari perusahaan sawit seperti ceritanya kemarin. 

"Aku harus di sampingnya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun