Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), melalui Lembaga Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) PP PMKRI, mengecam keras arah transisi energi Indonesia yang dinilai eksploitatif dan mengabaikan hak masyarakat adat serta keberlanjutan ekologis. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers nasional yang digelar di Jakarta, Minggu (8/6/2025), sebagai respons atas maraknya konflik dan kerusakan lingkungan dalam proyek hilirisasi nikel dan pengembangan panas bumi (geotermal).
"Kami menilai transisi energi saat ini hanya mengganti alat, tapi tetap mempertahankan logika kolonialisme sumber daya. Alih-alih bersih dan adil, yang terjadi justru perampasan ruang hidup masyarakat adat dan kerusakan ekologis yang parah," ujar (Parlin Tua Sihaloho) , Ketua Lembaga ESDM PP PMKRI.
Dua kasus yang menjadi sorotan utama PMKRI adalah: ekspansi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya oleh PT GAG Nikel, dan proyek panas bumi Wae Sano di Flores serta pengembangan di Sumatera Barat, yang semuanya berlangsung di atas tanah ulayat tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC.
PMKRI secara tegas mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan koreksi total terhadap kebijakan transisi energi yang berlangsung tidak adil dan tidak transparan. Selain itu, PMKRI juga menuntut Menteri ESDM Bahlil Lahadalia agar segera:
1.Mencabut izin pertambangan dan proyek panas bumi yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan tanah adat;
2.Melakukan audit menyeluruh terhadap proses perizinan yang diberikan selama masa transisi energi;
3.Menghentikan pendekatan represif terhadap masyarakat yang mempertahankan wilayahnya dari ekspansi proyek.
"Pak Prabowo harus menyadari bahwa keadilan ekologis adalah fondasi keberlanjutan bangsa. Kami menuntut agar negara tidak tunduk pada kepentingan investor semata," lanjut Parlin.
Tuntutan Resmi PMKRI:
1. Moratorium nasional ,terhadap seluruh proyek hilirisasi dan geotermal di wilayah adat dan konservasi.
2. Audit independen, atas kerusakan ekologis dan pelanggaran hak masyarakat dalam proyek-proyek energi.
3. Evaluasi menyeluruh, terhadap arah transisi energi agar benar-benar berpihak pada keadilan sosial dan ekologis.
4. Pengusutan hukum, terhadap pejabat publik dan korporasi yang melanggar prinsip FPIC, AMDAL, dan hak konstitusional masyarakat adat.
5. Pengembangan energi berbasis komunitas, dengan partisipasi aktif masyarakat sipil dan perguruan tinggi.
PMKRI menegaskan bahwa gerakan mahasiswa akan terus memantau dan mengawal kebijakan energi ke depan. Mereka juga membuka ruang konsolidasi dengan elemen masyarakat sipil, organisasi adat, dan jaringan lingkungan untuk menggalang perlawanan terhadap proyek-proyek eksploitatif.
"Kami tidak akan diam ketika tanah air dijadikan ladang eksploitasi berkedok hijau. Energi bersih sejati harus adil, partisipatif, dan berakar dari rakyat," tegas Parlin menutup pernyataan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI