Realitas Kemiskinan Indonesia dan Ambisi Menjadi Anggota OECD : Antara Cita dan Cermin Sosial
Di tengah upaya Pemerintah Indonesia untuk mengukir prestasi global dengan bergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), realitas dalam negeri menunjukkan sebuah ironi yang mencolok. Tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan ketimpangan sosial yang melebar menjadi cermin buram yang menghalangi wajah Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara maju. Dengan mayoritas anggota OECD berasal dari negara-negara maju yang menjunjung tinggi standar keadilan sosial dan tata kelola ekonomi berkualitas, Indonesia harus menghadapi tantangan besar untuk memenuhi ekspektasi global tersebut.
OECD : Standar Tinggi dan Reputasi Global
OECD merupakan organisasi internasional yang menaungi 38 negara anggota, di mana 33 di antaranya adalah negara maju. OECD merepresentasikan 80% aktivitas perdagangan dunia dan menyumbang lebih dari 40% produk domestik bruto (PDB) global. Bergabung dengan OECD bukan sekadar menjadi bagian dari klub elite ekonomi dunia, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, keadilan sosial, dan pembangunan inklusif.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan proses keanggotaan Indonesia dalam OECD merupakan bagian dari strategi menuju status negara maju. Dalam pernyataannya, Airlangga menekankan pentingnya "benchmark" dalam pembangunan nasional yang disesuaikan dengan standar global. Indonesia juga menjadi negara Asia Tenggara pertama yang menyelesaikan initial memorandum OECD, yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalani proses aksesi.
Namun, seperti dikemukakan ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa cita-cita tersebut belum berakar kuat di masyarakat. Ia mengkritik cara pemerintah melihat kemiskinan sebagai permainan angka statistik tanpa menyentuh akar permasalahan sosial dan struktural yang lebih dalam.
Statistik Kemiskinan : Permainan Angka atau Refleksi Realitas
Salah satu ironi yang mencolok adalah perbedaan tajam antara data kemiskinan versi Bank Dunia dan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut laporan Macro Poverty Outlook April 2025, tingkat kemiskinan Indonesia pada 2024 adalah 60,3% dari populasi. Namun, pembaruan pada Juni 2025 yang menggunakan paritas daya beli (PPP) 2021 menunjukkan lonjakan angka kemiskinan menjadi 68,25%. Perubahan metodologi ini menggambarkan betapa fluktuatif dan sensitifnya indikator kemiskinan terhadap pendekatan teknis yang digunakan.
Sebaliknya, data BPS menunjukkan tren penurunan kemiskinan dengan angka 8,57% per September 2024. Perbedaan drastis ini menimbulkan pertanyaan serius : apakah kita terlalu terpaku pada statistik dan gagal melihat penderitaan nyata yang dialami oleh mayoritas warga di lapisan terbawah.
Syafruddin Karimi menyoroti garis kemiskinan - apakah diturunkan atau dinaikkan - tidak mengubah realitas hidup masyarakat yang berada dalam 60% terbawah piramida sosial. Ketimpangan justru terus meningkat dari desa ke kota dan dari wilayah timur ke barat Indonesia, mencerminkan kegagalan pembangunan yang merata.