Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Antara Ambisi Industrialisasi dan Ancaman terhadapLingkungan : Kasus Nickel Raja Ampat dan Relevansi Nasional

6 Juni 2025   17:13 Diperbarui: 6 Juni 2025   17:13 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk bawah air di kawasan Unesco Global Park  Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Sumber : Greenpeace via channelnewsasia.com).

Antara Ambisi Industrialisasi dan Ancaman terhadap Lingkungan : Kasus Nickel Raja Ampat dan Relevansi Nasional

Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah dan biodiversitas laut serta darat yang luarbiasa, tengah berada di persimpangan jalan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, dorongan kuat untuk hilirisasi industri pertambangan telah menjadi bagian dari strategi nasional demi meningkatkan nilai tambah komoditas dan daya saing global. Namun, strategi ini tidak jarang bertabrakan dengan isu-isu krusial lainnya seperti hak masyarakat adat, kelestarian lingkungan, dan tata kelola wilayah yang adil. Salah satu kasus yang mencuat ke permukaan adalah aktivitas penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebuah kawasan yang tidak hanya indah dan kaya sumberdaya, tetapi juga sangat rentan dari sisi ekologis.

Raja Ampat : Permata Biodiversitas Dunia yang Terancam

Raja Ampat telah lama dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut paling penting di dunia. Menurut Greenpeace Indonesia, wilayah ini menjadi rumah bagi sekitar 75 persen spesies karang yang dikenal di dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan. Wilayah ini juga telah ditetapkan sebagai Taman Geopark Global oleh UNESCO. Namun demikian, keberadaan cadangan nickel dalam jumlah besar di wilayah ini mengundang ketertarikan banyak pihak, termasuk perusahaan tambang negara seperti Gag Nikel, anak usaha Antam.

Studi Greenpeace menunjukkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi asli di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah dibuka untuk penambangan nikel. Akibatnya, terjadi limpasan tanah dan sedimentasi yang membahayakan terumbu karang serta ekosistem laut yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan.

Respons Pemerintah dan Dilema Kewenangan Daerah

Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyatakan sedang menyelidiki aktivitas pertambangan ini. Sekretaris Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan langkah-langkah penegakan hukum sedang dikembangkan. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pun berjanji akan memanggil para pemilik konsesi dan bahkan menyatakan akan menghentikan sementara operasi Gag Nickel. Sikap ini diambil setelah mendapat tekanan publik, termasuk demonstrasi damai yang dilakukan oleh aktivis Greenpeace dan warga Papua.

Meski demikian, keterbatasan kewenangan daerah menjadi salah satu akar masalah. Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menyatakan meskipun 97 persen wilayahnya merupakan kawasan konservasi, kebijakan pertambangan tetap ditentukan di tingkat pusat. Hal ini membuat pemerintah daerah merasa tak berdaya ketika menghadapi kerusakan lingkungan akibat keputusan yang tidak dapat mereka intervensi. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua Barat, Julian Kelly Kambu, juga mengingatkan beberapa izin diberikan sebelum pemekaran wilayah, sehingga tidak sesuai lagi dengan konteks administrasi dan kebutuhan lokal saat ini.

Masalah Serupa di Wilayah Lain : Toba, Batu Malang, dan Flores

Masalah serupa juga muncul di kawasan lain seperti Kaldera Toba, Batu Malang, dan Flores. Di Kaldera Toba, UNESCO memberikan peringatan karena pengelolaan Geopark Kaldera Toba tidak memenuhi syarat yang ditetapkan, baik dari aspek kelembagaan maupun keberlanjutan. Alih-alih menjadi kawasan konservasi unggulan, Geopark ini justru dikritik oleh aktivis lingkungan sebagai "Ego Park", yang lebih mengutamakan pencitraan daripada perlindungan nyata terhadap ekosistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun