Java Jazz Festival 2025 : Dua Dekade Merayakan Jazz, Tapi Kemana Arah Komunitasnya
Akhir pekan ini, kawasan JIExpo Kemayoran Jakarta kembali ramai. Bukan karena pameran dagang atau event otomotif, tapi karena satu hal yang sudah jadi tradisi tahunan bagi pecinta musik di Indonesia : Java Jazz Festival (JJF). Tahun ini bukan sembarang tahun. Java Jazz resmi genap berusia dua dekade. Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah festival musik di Indonesia, apalagi yang mengusung genre seperti jazz - yang selama ini dikenal "elit", segmented, dan bukan konsumsi mayoritas.
Namun begitu, Java Jazz justru mampu membalik stigma itu. Dari panggung ke panggung, dari musisi lokal sampai internasional, festival ini menjelma jadi ajang bergengsi yang mempertemukan penikmat musik, pelaku industri, hingga komunitas. Tapi di balik gegap gempita perayaan 20 tahun ini, muncul pertanyaan menarik : ke mana arah komunitas jazz Indonesia setelah dua dekade Java Jazz berjalan.
Dua Dekade Java Jazz : Dari Konser Jadi Institusi Budaya
Sejak pertama kali digelar tahun 2005, Java Jazz langsung mencuri perhatian. Kala itu, tak banyak yang menyangka sebuah festival jazz bisa sukses besar di tengah dominasi musik pop dan dangdut. Tapi Java Jazz bukan hanya bertahan - ia berkembang. Dari tahun ke tahun, jumlah panggung bertambah, penonton membeludak, dan line-up musisi makin beragam.
Presiden Direktur Java Festival Production, Dewi Gontha, dalam konferensi pers menyebutkan tahun ini hampir 1.000 musisi akan tampil di 11 panggung selama tiga hari festival. Angka yang luarbiasa, meskipun bagi sebagian orang terdengar seperti klaim yang terlalu ambisius. Sebab kalau dihitung-hitung, dengan durasi festival yang terbatas, rasanya sulit untuk membayangkan ribuan musisi bisa tampil semua tanpa tumpang tindih dan tanpa mengorbankan kualitas pertunjukan.
Namun, terlepas dari itu, Java Jazz telah menjadi lebih dari sekadar konser. Ia adalah panggung tumbuh bagi banyak musisi Indonesia. Nama-nama seperti Andien, Barry Likumahuwa, Tompi, hingga Endah N Rhesa adalah contoh nyata musisi yang pernah memanfaatkan Java Jazz sebagai batu loncatan. Kolaborasi antar musisi, bahkan lintas negara, lahir dari ruang-ruang pertemuan di balik panggung festival ini.
Dalam edisi ke-20 ini, sebuah pertunjukan khusus bertajuk 20 Years of Java Jazz digelar sebagai puncak perayaan. Musisi yang pernah tampil sejak edisi-edisi awal akan berkumpul kembali: dari Dira Sugandi, Indra Aziz, Humania, Nikita Dompas, hingga Voxaccord. Sebuah reuni musikal yang sekaligus jadi refleksi perjalanan Java Jazz selama ini.
Deretan Bintang : Antara Massa dan Kelas
Tahun ini, Java Jazz kembali menghadirkan sejumlah nama besar dari luar negeri. Sebut saja Jacob Collier, musisi jenius asal Inggeris yang terkenal dengan aransemen rumit dan performa multi-instrumentalismenya; Tunde Baiyewu, vokalis dari Lighthouse Family; serta Raye, penyanyi muda berbakat asal Inggeris. Selain itu, ada juga Kamasi Washington, Snarky Puppy, Lettuce, Jesus Molina, dan The Yussef Dayes Experience - nama-nama yang familiar bagi pecinta jazz progresif dan eksperimental.