Kasus Skripsi Jokowi : Antara Kritik Politik dan Disinformasi yang Terorganisir
Kontroversi mengenai keaslian skripsi dan ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), kembali mencuat ke permukaan publik menjelang pertengahan tahun 2025. Kasus ini bukan kali pertama menjadi perbincangan, namun kali ini mengemuka dengan tekanan politik yang lebih besar pasca Pilpres 2024. Sosok-sosok seperti Roy Suryo, dokter Tifa Tyassuma, dan Rismon Sianipar menjadi aktor utama yang mempertanyakan keabsahan dokumen akademik Jokowi. Tuduhan tersebut tentu saja mengundang perhatian publik dan menimbulkan kegaduhan politik yang cukup luas. Namun demikian, konteks politik di balik isu ini menunjukkan adanya indikasi agenda yang lebih besar dari sekadar pemeriksaan akademis belaka.
Latar Belakang Kasus
Roy Suryo dan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mengklaim menemukan kejanggalan dalam skripsi Jokowi. Dalam pengakuan Roy, skripsi tersebut menunjukkan inkonsistensi teknis seperti perbedaan media cetak : beberapa halaman diketik menggunakan mesin ketik, sementara halaman lainnya menggunakan printer. Ia juga mengklaim tidak menemukan lembar pengesahan dosen penguji.
Namun, pernyataan resmi dari pihak kepolisian melalui Bareskrim Mabes Polri telah menyatakan ijazah dan skripsi Jokowi adalah asli. Pernyataan ini berdasarkan hasil pemeriksaan forensik, perbandingan dengan dokumen milik rekan-rekan seangkatan Jokowi, serta konfirmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Jokowi sendiri telah memberikan klarifikasi, menyatakan skripsinya dapat dicek di perpustakaan Fakultas Kehutanan UGM.
Motif Politik di Balik Tuduhan
Melihat pola tuduhan ini, sangat sulit untuk menepis kemungkinan adanya motif politik yang menyertai. Aktor-aktor seperti Roy Suryo memiliki rekam jejak panjang sebagai kritikus Jokowi, dan dikenal dekat dengan kelompok-kelompok oposisi konservatif. Bersama dengan Tifa Tyassuma dan Rismon Sianipar, mereka membentuk narasi yang seakan-akan ilmiah namun pada dasarnya sarat dengan muatan politis.
Kelompok-kelompok kanan ekstrem seperti yang terafiliasi dengan Amien Rais, FPI, dan elemen politik Islam lainnya sejak awal kepemimpinan Jokowi menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam. Tuduhan palsu seperti ini hanya satu dari sekian banyak kampanye disinformasi yang pernah diarahkan ke Jokowi, mulai dari isu keturunan PKI, agama palsu, hingga tuduhan antek asing.
Tak hanya itu, PDIP, yang selama dua periode mendukung Jokowi, kini berubah menjadi oposisi diam yang memendam kekecewaan besar pasca kalah dalam Pilpres 2024. Kekalahan Ganjar-Mahfud disinyalir membuat PDIP belum bisa move on. Bahkan ada sinyal-sinyal partai ini masih mencari celah untuk "membalas dendam" terhadap Jokowi yang dianggap berpaling dan mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Jokowi dan Dinamika Politik Pascakepemimpinan