Pendekatan Strategis terhadap TPNB-OPM : Internasional dan Realitas Domestik
Sejak bergabungnya Irian Barat ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI Pendekatan Strategis terhadap TPNPB-OPM : Belajar dari Pengalaman) melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), wilayah Papua senantiasa menjadi titik panas yang tak kunjung padam. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) merupakan salah satu kelompok separatis bersenjata yang aktif menyuarakan kemerdekaan Papua, sering kali dengan metode kekerasan yang menimbulkan korban jiwa dari kalangan aparat maupun warga sipil.
Kelompok ini bukan hanya eksis di dalam negeri, melainkan juga memiliki jejaring luar negeri yang aktif mengkampanyekan isu Papua di berbagai forum internasional. Mereka mengklaim sebagai representasi perjuangan rakyat Papua, mirip seperti bagaimana Fretilin di Timor Timur masa lalu mengklaim sebagai wakil sah rakyat Timtim.
Sejarah Singkat TPNPB-OPM dan Jejak Fretilin di Timor Timur
Organisasi Papua Merdeka (OPM) didirikan tahun 1965, namun cikal bakal gerakan separatis Papua sudah muncul sejak awal integrasi Irian Barat. Sementara itu, di Timor Timur, Fretilin didirikan pada tahun 1974 setelah Portugal melepas kendali kolonial. Fretilin menganut ideologi kiri dan memiliki kemiripan taktis dengan TPNPB-OPM : sama-sama memanfaatkan momentum internasional, memiliki jaringan luar negeri, dan melibatkan elemen propaganda intensif yang menjual narasi penindasan oleh pemerintah pusat.
Peristiwa penting yang menjadi titik balik internasionalisasi isu Timor Timur adalah Tragedi Santa Cruz tahun 1991. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Jose Ramos-Horta, Menlu Fretilin yang melakukan kampanye luar negeri secara agresif. Demikian pula dengan TPNPB-OPM, saat isu Papua mencuat di parlemen Inggeris dan beberapa negara Melanesia, serta dibicarakan oleh LSM-LSM HAM internasional.
Jaringan Luar Negeri dan Perang Propaganda
TPNPB-OPM memiliki juru bicara seperti Sebby Sambom yang aktif menyuarakan perjuangan mereka melalui media, serta sejumlah tokoh di luar negeri yang berperan seperti diplomat bayangan. Mereka belajar dari pengalaman Fretilin yang menggunakan jalur-jalur diplomatik non-resmi untuk menggalang simpati global.
Narasi yang dibangun adalah narasi klasik kolonialisme dan penindasan terhadap hak penentuan nasib sendiri. Mereka mahir dalam memanfaatkan kelemahan sistem demokrasi global, di mana opini publik dan tekanan media dapat mempengaruhi sikap politik luar negeri negara-negara kuat. Sayangnya, Indonesia kerap gagal dalam meng-counter narasi tersebut secara konsisten.
Aksi dan Reaksi : Siklus yang Berulang