Mewaspadai Otoritarianisme Turki ala Recep Tayyip Erdogan
Keadaan politik di Turki saat ini berada dalam sorotan internasional akibat serangkaian peristiwa yang menimbulkan kekhawatiran mengenai arah demokrasi di negara tersebut. Pada Maret 2025, Ekrem mamolu, Walikota Istanbul dan tokoh oposisi utama, ditangkap dengan tuduhan korupsi dan keterlibatan dengan organisasi teroris. Penangkapan ini memicu protes massal di berbagai kota besar seperti Istanbul, Ankara, dan Izmir, dengan ribuan demonstran turun ke jalan menuntut keadilan dan demokrasi.
Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoan, merespons protes tersebut dengan tindakan keras, termasuk penangkapan lebih dari 1.100 demonstran dan pembatasan akses ke media sosial. Langkah-langkah ini menambah kekhawatiran akan meningkatnya otoritarianisme di Turki.
Secara internasional, penangkapan mamolu mendapat kecaman dari berbagai negara, termasuk Jerman dan Perancis, yang menganggap tindakan tersebut sebagai serangan terhadap demokrasi. Namun, Amerika Serikat menyatakan bahwa krisis ini merupakan urusan internal Turki.
Situasi ini menandai pergeseran signifikan dalam sistem politik Turki, dengan indikasi kuat menuju konsolidasi kekuasaan yang lebih otoriter di bawah Erdoan. Penangkapan tokoh oposisi utama dan penindasan terhadap protes damai menunjukkan tantangan serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di negara tersebut.
Turki saat ini menggunakan sistem presidensial sejak hasil referendum tahun 2017 yang menghapus sistem parlementer. Perubahan ini mulai berlaku penuh setelah pemilihan presiden 2018.
Ciri-ciri Sistem Politik Turki sekarang
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif penuh, termasuk menunjuk menteri, mengeluarkan dekrit, dan membubarkan parlemen. Tidak ada posisi Perdana Menteri (dihapus sejak 2018)
Parlemen tetap berperan
Turki memiliki Majelis Agung Nasional Turki (Trkiye Byk Millet Meclisi, TBMM) dengan 600 anggota yang dipilih melalui pemilu.