Populasi China pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 1.419.3 juta atau 1,419 miliar orang. China terus mengalami penurunan populasi, dengan penurunan tahunan sekitar -0,224% pada tahun 2024 (Statistics Times).
Populasi AS pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 339,5 juta orang. Populasi negara ini terus bertumbuh, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 0,5% (World Population Review).
Populasi Jepang pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 122,5 juta orang. Jepang juga mengalami penurunan populasi dengan tingkat penurunan tahunan sekitar -0,6%(Worldometer).
Populasi di ketiga negara ini mencerminkan tren demografis yang berbeda: China dan Jepang menghadapi tantangan penurunan populasi, sedangkan AS masih mengalami pertumbuhan populasi yang positif.
Pendorong Inovasi Teknologi
Membaca tulisan Jacob Dreyer dalam NOEMA edisi 11 Juni 2024 dengan topik deglobalisasi, urbanisasi yang cepat di China telah membawa perubahan besar dalam struktur demografis dan sosial. Kaum muda di China semakin banyak bergerak ke kota-kota besar, yang menyebabkan perubahan gaya hidup, pola konsumsi, dan dinamika ekonomi. Mereka menjadi pendorong inovasi teknologi dan perubahan ekonomi, namun juga menghadapi tantangan seperti ketidakstabilan pekerjaan, tekanan biaya hidup, dan degradasi lingkungan.
Seiring dengan meningkatnya tingkat urbanisasi, China juga menghadapi tantangan penuaan populasi, mirip dengan apa yang dihadapi Jepang selama beberapa dekade terakhir. Penuaan populasi ini membawa risiko penurunan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan biaya perawatan kesehatan. Kombinasi ini dapat menyebabkan pelambatan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, mengurangi daya saing global negara tersebut.
Jepang, pada masa keemasannya, mengalami booming ekonomi yang sangat cepat, seperti yang dialami China saat ini, dengan pengaruh besar dalam pendidikan, industri, dan pembangunan infrastruktur. Jepang pun menjadi pusat perhatian di dunia internasional, terutama sebagai pemasok utama mahasiswa ke universitas di AS. Namun, setelah "gelembung" ekonomi meledak, Jepang mengalami "dekade yang hilang," di mana pertumbuhan ekonomi stagnan.
Dalam periode ini, Jepang berhasil beralih dari ekonomi pertumbuhan cepat menuju ekonomi yang lebih stabil dan fokus pada kualitas hidup, dengan kota seperti Tokyo yang menjadi salah satu kota besar paling terjangkau dan layak huni di dunia. Transformasi ini juga ditandai oleh pergeseran fokus dari pembangunan ekonomi berbasis utang dan pembangunan infrastruktur besar-besaran ke pemeliharaan budaya, inovasi kreatif, dan kualitas hidup.
Skenario "Degrowth"