Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kartu Identitas Anak, Langkah Mundur Pemerintah Kita?

12 Juli 2017   00:19 Diperbarui: 13 Juli 2017   11:19 3245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KIA (Kompas.com)

Kartu Identitas Anak (KIA) urgensinya apa sih? Kan sudah ada kartu pelajar, kartu pintar, kartu sehat, plus kartu keluarga. Lantas, KIA digunakan buat apa lagi? Pertanyaan ini sangat wajar diajukan mengingat KIA sudah termaktub dalam Permendagri No 2 Tahun 2016. Itu artinya, KIA yang saat ini dalam proses sosialisasi di sejumlah daerah juga membutuhkan anggaran, yang seluruhnya tentu saja diambil dari APBN.

Dalam pertimbangan pemerintah, KIA diharapkan menjadi kartu sementara bagi anak yang belum berhak memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan KIA, segala urusan administrasi anak seperti dalam pengurusan paspor akan jauh lebih mudah ketimbang menggunakan kartu lainnya. Keuntungan lainnya, nomor registrasi kependudukan anak di KIA selanjutnya akan disamakan dengan KTP jika telah berumur 17 tahun kelak. Dengan demikian, proses pembuatan KTP diyakini akan jauh lebih mudah dan cepat. Itulah dua keuntungan yang diperoleh anak bila telah mengantongi KIA.

Saya kurang mengerti kenapa pemerintah justru membuat langkah mundur setelah memulai proyek KTP elektronik---meski masih bermasalah-yang cukup revolusioner itu? KTP elektronik dengan segudang persoalannya, merupakan langkah jitu dari pemerintah untuk melakukan pendataan penduduk dengan berbasis teknologi. KTP ganda, yang umum terjadi di masa lalu, kini akan sulit dilakukan karena nomor registrasi penduduk seluruhnya sudah terdaftar di server milik Kemendagri, yang sewaktu-waktu bisa dicek keabsahannya. Kelebihan lainnya, KTP elektronik telah berlaku seumur hidup, tidak lagi mengurus perpanjangan sekali lima tahun.

Nah, awalnya saya mengira dengan dimulainya KTP elektronik, akan diikuti dengan pendataan anak yang juga berbasis teknologi. Misalnya, dengan mewajibkan seluruh rumah sakit di Indonesia untuk mengirimkan seluruh data terutama sidik jari bayi yang lahir di rumah sakit bersangkutan. Ini tentu saja bukan pekerjaan sulit dengan kian canggihnya teknologi masa kini. Petugas rumah sakit tinggal memasukkan data bayi (khususnya tanggal lahir, golongan darah, dan nama orangtua) ke komputer yang tersambung ke pusat data Kemendagri ataupun lembaga terkait lainnya. Toh, pihak rumah sakit selama ini juga melakukan pendataan sidik jari bagi seluruh bayi yang lahir. Sehingga tidak ada sulitnya untuk mengirimkannya kepada pemerintah.

Kegunaannya, seperti dalam tersaji dalam sejumlah film Hollywood, sangat efektif guna mengetahui latar belakang si bayi di masa yang akan datang. Maka tidak heran bila kepolisian Amerika Serikat dapat dengan mudah melacak apakah seseorang yang mungkin terlibat kejahatan di masa depan, dilahirkan di AS atau bukan. Itu semua terlacak lewat sidik jari yang memang akan sama dari bayi hingga dewasa.

Barangkali, yang penting diperhatikan adalah bagaimana teknis pendataan sidik jari terhadap bayi yang lahir di luar rumah sakit, seperti di bidan, Puskesmas, ataupun di rumah tinggal. Termasuk bayi yang lahir di pelosok yang masih jauh dari jangkauan teknologi. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Salah satu cara yang cukup efektif untuk menjangkaunya adalah saat bayi dibawa berobat atau mengecek kesehatan ke Posyandu. Di sini, petugas kesehatan boleh saja sekaligus melakukan pendataan sidik jari kepada bayi untuk selanjutnya dikirimkan ke pemerintah daerah setempat. Kemudian pemerintah daerah mendistribusikan data tersebut kepada pemerintah pusat.

Dengan demikian, seluruh data anak Indonesia akan dengan mudah terlacak di masa mendatang. Bahkan, kepolisian pun sebenarnya bisa sangat terbantu apabila seluruh data sidik jari tersebut terhubung dengan pusat data kepolisian. Apakah seseorang tersebut pernah melakukan kejahatan? Itu bisa ditelusuri seandainya pusat data pemerintah terhubung dengan pusat data kepolisian. Dan, semua itu bisa diketahui hanya lewat sidik jari.

Lantas, seandainya sidik jari sudah terekam seluruhnya, KIA sepertinya tidak lagi berguna. Sebab, KIA tentu saja berbeda dengan KTP. Pemegang KTP adalah penduduk yang dianggap telah dewasa dan telah dapat bertanggungjawab secara hukum. Sedangkan pemegang KIA masih di bawah umur yang pertangungjawaban hukumnya juga berbeda dari penduduk dewasa. Kalau kegunaannya hanya untuk mempermudah pengurusan paspor, berapa persen sih anak-anak Indonesia yang bepergian ke luar negeri? Jika hanya mempermudah pengurusan KTP kelak, si anak cukup membawa Kartu Keluarga, beres urusan.

KIA tak lain merupakan langkah mundur pemerintah kita. Anda setuju?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun