Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

NET TV Sekarat? Simak Desas-desusnya

9 Agustus 2019   22:56 Diperbarui: 9 Agustus 2019   22:58 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru sebulan lalu saya mengobrol cukup lama dengan seorang mantan karyawan sebuah stasiun televisi. Tepatnya, beliau seorang mantan juru kamera alias kameraman. Tukang sorot, kalau kata orang di kampung kami.

Eh, hari ini beredar kabar NET TV bakal menggelar PHK massal. Kondisi keuangan NET diduga morat-marit hingga terpaksa melakukan efisiensi. Kabar tersebut mungkin kurang dipercaya banyak orang dengan asumsi acara di NET kan bagus, insipiratif dan kekinian. Pasti banyak yang suka nonton. Pengiklan ramai.

Nah, kawan tadi pun setuju kalau iklan NET memang bejibun. Sponsor sejumlah acaranya yang dikemas menarik, membuat pengiklan tertarik. Itu fakta. Tapi pendapatan itu rupanya tak seimbang dengan pengeluaran. Konon, kata kawan tadi, setiap tahunnya, rata-rata stasiun televisi masih merugi hingga Rp 1 miliar lebih. Wow!

Jadi sebetulnya bukan cuma NET yang mengalami gangguan keuangan. Televisi lainnya juga rata-rata begitu, terutama televisi berita. Lebih gawat lagi kondisinya.

Hanya saja, NET lebih "berdarah-darah" lantaran statusnya yang masih pendatang baru. Mau tak mau harus merekrut banyak karyawan plus merancang program acara yang 'high budget'. Demi apa? Menjaring pemirsa sebanyak-banyaknya. Berbeda dengan televisi lain yang telah punya pemirsa setia.

Kini, setelah NET menilai sudah punya basis pemirsa, langkah efisiensi menjadi masuk akal dilakukan. Ibarat manusia yang sudah beranjak remaja, pengasuh sudah bisa dipensiunkan. Tak perlu diawasi super ketat lagi. Begitu kira-kira.

Terus, saya bertanya lagi. Ada nggak sih televisi yang untung? Ada. Tapi hanya satu. Tanpa menyebut nama, saya yakin Anda sudah bisa menebak. Kata kuncinya adalah televisi yang rajin menayangkan acara dangdut dan sinetron yang "berhidayah".

Kok bisa untung? Ya itu tadi, basis pemirsa sudah jelas, dari Sabang sampai Merauke. Terus, yang paling penting, cost produksi acara itu sangat minim sementara sponsor berduyun-duyun memasang iklan. Tak perlu banyak karyawan untuk mengemas acara seperti itu, secukupnya saja.

Pertanyaan terakhir, kalau memang tidak untung, kok masih dipertahankan sih? Nah kalau ini sudah masuk area sensitif. Tapi begini, pers khususnya televisi harus diakui mempunyai power bagi si empunya. Kita tahu, mayoritas pemilik televisi di republik ini adalah pengusaha. Bisnisnya ada di mana-mana.

Jadi kalaupun merugi dari usaha televisi, paling tidak lini bisnis lain menjadi lebih aman. Ekspansi bisnis dengan segala tetek-bengeknya jauh lebih gampang ketika didukung kekuatan media.

Begitulah desas-desusnya. Bahwa industri televisi memang bukan industri yang menggiurkan dari sisi bisnis. Tetapi sangat menguntungkan bila dipadukan dengan unit bisnis lainnya.

Tapi karena ini hanya desas-desus, jangan terlalu percaya. Namanya juga desas-desus, yang kebenarannya tak bisa dijamin.

Itu....!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun