Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Di Kampung Kami Musim Caleg Telah Tiba

22 Juli 2018   20:25 Diperbarui: 22 Juli 2018   21:18 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di Parsoburan (Google Maps)

Butuh 100 tahun bagi Kecamatan Habinsaran untuk melahirkan anak pertamanya sejak berdiri pada 1902 silam. Anak pertamanya bernama Kecamatan Borbor yang lahir pada 2002. Empat tahun berikutnya yakni pada 2006, Habinsaran kembali melahirkan anak keduanya, Kecamatan Nassau. Maka berubahlah Habinsaran menjadi tiga wajah, Habinsaran, Borbor, dan Nassau yang kemudian sering disingkat menjadi Habornas.

Habinsaran memulai persalinan anak pertama dan keduanya itu tak lama setelah gelombang otonomi daerah yang dicetuskan sejak era reformasi. Dimulai dari Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) yang dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Sumut pada 1999. Belum cukup, Taput kembali melahirkan Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) pada 2003. Baru saja berdiri, Tobasa kembali berpisah dari Samosir yang kemudian membentuk Kabupaten Samosir bersamaan dengan Humbahas pada 2003. Maka Kabupaten Samosir adalah cucu dari Kabupaten Taput, meski sebelumnya berada dalam wilayah yang sama dengan Tobasa.

Lalu kenapa Tobasa tidak diubah saja menjadi Kabupaten Toba setelah kepergian Samosir? Bisa saja, tetapi urusannya pasti rumit karena harus berdasarkan UU dengan melibatkan politisi Senayan dan pemerintah pusat. Buat apa harus berdebat panjang lebar, toh ujung-ujungnya pemekaran itu dilakukan atas dasar upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare.

Kembali ke Habornas. Habinsaran hingga saat ini masih menyandang sebagai kecamatan terluas di Tobasa kendati telah melahirkan Borbor dan Nassau. Bahkan, di seantero Taput, Humbahas, dan Samosir, belum ada yang menandingi betapa luasnya Habinsaran. Bila tidak salah, Kecamatan Pintu Pohan Meranti tadinya juga masuk dalam wilayah Habinsaran.

Namun daerah ini relatif kurang "sejiwa" dengan Habornas oleh faktor geografisnya yang lebih dekat dengan Kecamatan Silaen dan Kecamatan Porsea. Hampir tidak ada pembauran sosial maupun ekonomi antara warga Pintu Pohan Meranti dengan warga Habinsaran. Sehingga pemekaran Borbor dan Nassau plus Pintu Pohan Meranti merupakan kebutuhan yang memang sangat mendesak guna memacu pembangunan yang selama ini terlupakan.

Sebagai wilayah yang selama ratusan tahun berada dalam satu lingkup sosial dan kekerabatan kental, warga ketiga kecamatan itu pada dasarnya mempunyai prinsip dan karakter yang sama. Parsoburan sebagai ibukota Habinsaran, boleh dikatakan sebagai barometer dari seluruh karakter masyarakat Habornas. Itu karena selama ratusan tahun Parsoburan menjadi pusat ekonomi, pendidikan, serta pemerintahan bagi seluruh penduduk Habornas.

Fasilitas pendidikan seperti SMP dan terutama SMA hanya ada di Parsoburan, yang kemudian memaksa mayoritas pemuda Habornas "merantau" ke Parsoburan dalam usia sekolah. Mereka menetap di rumah-rumah penduduk dengan membayar uang bulanan dan sebagian kecil memilih "marjabu kosong" alias tinggal di rumah kosong. Disebut "marjabu kosong" karena tidak ada induk semang di sana, mereka hidup mandiri tanpa pendampingan wali orangtua. Single fighter. Sejak SMP hingga SMA .

Barulah sejak pemekaran tiba, sekolah SMP dan SMA dan sederajat berdiri di Borbor dan Nassau. Itu berarti baru terjadi sejak 10 tahun lalu. Bahkan, untuk urusan hukum dan keamanan, Borbor dan Nassau hingga kini masih berada dalam wilayah hukum Polsek Habinsaran. Begitu juga dengan sentra-sentra ekonomi dan pemerintahan mulai berpencar sejak Habornas dimekarkan.

Seberapa Pedulikah Caleg Kita?

RT 03 Parsoburan (Google Maps)
RT 03 Parsoburan (Google Maps)
Ada kabar tak enak bagi marga Pardosi, marga mayoritas yang menyandang status sebagai "pemilik kampung" di Parsoburan. Meski dikenal sebagai "si suan bulu" tak pernah sekalipun marga Pardosi yang sukses menjadi anggota DPRD, sepanjang masih bergabung Taput dan setelah Tobasa berdiri. Untuk lingkup Tobasa, 

Pemilu Legislatif (Pileg) sudah berlangsung sebanyak 4 kali, dan sebentar lagi akan masuk kelima kalinya. Tetapi 4 kali perhelatan itu, Pardosi selalu tumbang di antara marga-marga di Habornas yang secara populasi jumlahnya lebih sedikit.

Secara matematis berdasarkan jumlah populasi, Pardosi sebetulnya bisa dengan mudah merebut 1 kursi DPRD. Tetapi itulah realitasnya, suara Pardosi selalu terpecah, terombang-ambing hingga akhirnya menguntungkan marga-marga lain yang memang sangat heterogen di seluruh Habornas. 

Tidak ada yang perlu disesali, karena begitulah dunia politik. Ibarat kata orang bijak, jangan pernah menyalahkan lantai kalau tak bisa bergoyang.

Kini musim caleg telah tiba. Seluruh marga termasuk Pardosi kembali berlomba merebut 6 kursi DPRD yang menjadi jatah daerah pemilihan Habornas. Jatah Habornas bertambah 1 kursi dari yang sebelumnya dipatok 5 kursi. Jika dibagi rata, masing-masing kecamatan akan mengirimkan dua putera/puteri terbaiknya sebagai wakil rakyat di DPRD Tobasa.

Pertanyaan kembali mengemuka. Siapakah caleg yang layak didukung? Apakah caleg yang mempunyai hubungan saudara, teman dekat, teman sekampung, atau karena faktor lainnya? Ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab khususnya bagi penduduk Habornas yang tergolong homogen dalam balutan adat-istiadat yang masih kental.

Agar penilaian siapa caleg yang layak didukung menjadi adil, sepertinya pertanyaannya harus diganti. Yakni, siapakah caleg yang mempunyai rasa kepedulian tinggi terhadap kemajuan Habornas? 

Pertanyaan ini jauh lebih adil karena tidak lagi berdasarkan kedekatan emosional belaka. Walaupun harus diakui pula, faktor emosional adalah hal yang mustahil dihilangkan dalam setiap perhelatan politik. Mirip seperti kenapa marga Pardosi belum ada yang sukses menjadi anggota DPRD dari Parsoburan. Kerinduan itu muncul atas alasan primordialisme dengan menempatkan Pardosi sebagai pemilik kampung.

Lantas bagaimana menilai seorang caleg adalah sosok yang peduli atau tidak? Rekam jejak adalah jawabannya. Sebab menjadi caleg bukanlah tentang seberapa pintar atau setinggi apa pendidikannya. Tetapi soal kepedulian terhadap rakyat yang diwakilinya. Misalnya ada caleg yang peduli terhadap murid yang dipulangkan guru hanya karena belum melunasi uang sekolah, dialah caleg yang pantas didukung. Atau peristiwa lain yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.

Sehingga kalau ada caleg yang menampilkan visi-misi tentang pembangunan Habornas dalam kampanyenya nanti, bisa dipastikan yang bersangkutan tidak memahami apa sesungguhnya tugas dan fungsi wakil rakyat. Karena visi-misi itu merupakan ranah dari eksekutif bukan legislatif. Tugas caleg adalah mengkritisi visi-misi yang disajikan eksekutif, apakah cocok dengan rakyat yang diwakilinya.

Lalu bagaimana kalau yang terpilih nanti malah caleg berkantong tebal meski minim kepedulian? Ya bagaimana lagi, renungkanlah dalam-dalam. Selamat berpesta demokrasi bagi seluruh warga Habornas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun