Harta yang dalam lirik ini menyebut sawah warisan dari pihak ibu (hauma pauseang), dalam tradisi Batak sebetulnya sangat dianjurkan untuk jangan sampai berpindah kepemilikan. Pasalnya, harta warisan yang meski sepetak-dua petak itu merupakan sebuah kehormatan yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Namun demi pendidikan, harta warisan yang sakral itu pun terpaksa dijual.
Sayangnya, aksi nekat merantau hingga berbuah sukses itu, justru makin menjauhkan mereka dari kampung halaman. Tidak ada perhatian serius terhadap pembangunan di Tapanuli yang seperti berjalan di tempat. Semua sibuk dengan pangkat, jabatan, dan kekayaan masing-masing. Kalaupun mereka pulang kampung, itu hanya sekadar melepas rindu yang seringkali disusupi aksi "gagah-gagahan" dengan memamerkan kekayaan ke seluruh penduduk kampung.
Fenomena seperti itulah yang akhirnya membuat Jack Marpaung menjadi gusar. Ia ingin orang-orang Batak yang telah sukses di tanah rantau untuk segera membawa perubahan terhadap kampung halamannya.
Harapan itu tertuang dalam lirik berikut:
Mulak ma ho o bangsokki
bangso batak bangsokki bangso najogi
Mulak ma ho o bangsokki
bereng ma i undung-undungta i
naung maburburi
(Pulang wahai bangsaku bangsa Batak yang terpandang, lihatlah rumah kita yang sudah lapuk)
Syukurlah, panggilan Jack Marpaung lewat lagu itu perlahan berbuah manis. Orang-orang Batak di tanah rantau yang telah sukses mulai merasakan pentingnya membangun Tapanuli. Semisal, TB Silalahi yang membangun sekolah SMA Plus di Balige, kemudian diikuti Luhut Panjaitan dengan membangun Kampus DEL Teknologi bertaraf internasional di Laguboti.