Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dorothy Tan dan Teror Tengah Malam

23 Juni 2017   02:26 Diperbarui: 28 Agustus 2017   11:43 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“I am Dorothy Tan”. Begitulah penyiar radio Singapura itu saat mengakhiri siaran berita di suatu sore, sekitar 20 tahun lalu. Di kampung kami, nun jauh di pedalaman Sumatera Utara, hanya sinyal radio asal Singapura yang tertangkap cukup jelas di antena radio. Tentu saya tidak memahami apa yang sedang disiarkan penyiar wanita itu. Namun kebetulan, ayah tercinta yang sedikit mengetahui bahasa Inggris, meski hanya kulitnya saja, mampu menangkap pesan dari berita itu, yang selanjutnya diterjemahkan ayah tercinta ke dalam bahasa daerah kami.

Parsoburan, nama kampung kami, saat itu memang sudah disentuh sinyal Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Namun sayang, suaranya masih parau, sesekali menghilang apalagi saat angin kencang. Alhasil, tak banyak informasi yang bisa kami nikmati dari RRI saat itu. Apalagi, jaringan listrik saat itu pun masih terbatas, hanya menyala dengan jam tertentu.

Suatu malam, tak lama setelah Dorothy Tan merampungkan tugas siarannya, seisi kampung mendadak dikejutkan dengan rombongan manusia dari Porsea, sekitar 45 kilometer dari Parsoburan. Mereka terlihat panik dan ketakutan, berhimpitan di dalam truk terbuka. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata, PT Inti Indorayon (sekarang bernama PT Toba Pulp Lestari), sebuah pabrik pulp yang beroperasi di Porsea mengalami kebocoran tangki berisi zat kimia. Konon, zat kimia yang terlepas ke udara itu mampu mematikan manusia. Itulah yang membuat warga sekitar pabrik berhamburan menyelamatkan diri ke daerah yang lebih jauh. Sebuah teror tengah malam yang amat mengerikan.

Tak sedikit pun kami mengetahui awal peristiwa kebocoran itu sebelum mereka datang berbondong-bondong ke kampung kami. Saluran komunikasi saat itu masih sangat terbatas. Jaringan telepon rumah belum ada, sementara jalur darat hanya aktif hingga menjelang sore. Tak bisa dibayangkan jika saja pabrik pulp betul-betul meledak dan jangkauannya ternyata mampu mencapai kampung kami. Seisi kampung dipastikan mengalami bencana massal.

Besok harinya, suara Dorothy Tan kembali muncul dari radio, ia memberitakan tentang kejadian yang pada malam sebelumnya membuat seisi kampung kami harus terjaga. Syukurlah, peristiwa yang sangat fenomenal itu tak sampai menelan korban jiwa. Ayah tercinta menerjemahkan isi berita Dorothy kepada saya: tidak ada korban jiwa.

Begitulah pengalaman saya tentang sebuah siaran radio yang harus dinikmati dari negeri seberang. Kami terpaksa harus mengerti bahasa Inggris lantaran sulitnya menerima siaran berbahasa Indonesia. Bahkan, kabar buruk dari kampung tetangga sekalipun, harus diperoleh dari radio Singapura.

Danau Toba dan Radio Siaga Bencana

Kondisi 20 tahun lalu tentu sangat berbeda dengan sekarang. Kampung kami yang sebelumnya tertutup dari saluran komunikasi, sekarang boleh dibilang telah mapan informasi. Jaringan telepon maupun internet telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tak perlu waktu berjam-jam apalagi berhari-hari untuk mengetahui kejadian yang terjadi di luar kampung. Namun begitu, kehadiran radio yang dulu sempat menjadi idola penghuni kampung, perlahan ditinggalkan dengan masuknya siaran televisi, disusul jaringan telepon dan internet. Sebuah perubahan zaman yang terasa sangat cepat dan instan.

Padahal, Indonesia sebagaimana dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan negara yang rawan multibencana. Lebih khusus lagi, Gunung Toba yang menjelma menjadi Danau Toba dan hanya berjarak sekitar 70 kilometer dari kampung, merupakan salah satu letusan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Memang, dalam catatan BNPB, Gunung Toba yang berada di dasar Danau Toba sejauh ini tidak lagi berstatus aktif. Akan tetapi, yang namanya bencana sangat sulit dipastikan. Sebab seperti kata orang bijak, tidak ada satupun orang yang mampu melawan alam. Kita hanya bisa mengantisipasi bencana semaksimal mungkin.

Infografis: BNPB
Infografis: BNPB
Danau Toba yang kini menjadi salah satu tujuan pariwisata dunia memang terus bersolek menyusul besarnya perhatian pemerintahan Jokowi-JK terhadap destinasi wisata ini. Namun, sebagai langkah antisipasi, alangkah perlunya mengedukasi masyarakat sekitar Danau Toba untuk SadarBencana yang mungkin saja muncul secara mendadak. Nah, kehadiran radio merupakan sarana yang cukup efektif untuk memberikan pemahaman utuh kepada masyarakat luas.

Agar lebih menarik, siaran radio sadar bencana bisa diadopsi dari legenda rakyat sebagaimana cerita rakyat sekitar tentang terjadinya Danau Toba. Pementasan ulang melalui radio tentang Danau Toba barangkali sangat mudah terwujud apabila BNPB bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat sekaligus menggandeng stasiun radio lokal. Saya membayangkan antusiasme masyarakat setempat saat mendengar kisah terjadinya Danau Toba melalui siaran radio. Akan jauh lebih menarik jika cerita itu dituturkan dalam bahasa lokal sehingga pesan-pesan sadar bencana yang disisipkan dalam skenario cerita bisa dipahami secara utuh oleh seluruh pendengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun