Mohon tunggu...
Pardosa Godang
Pardosa Godang Mohon Tunggu... Dosen - Pelayan, pengajar dan pembelajar

Haus belajar, harus terus sampai aus ...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting dan Quiet Firing, Tindakan Apa yang Paling Penting?

22 September 2022   14:11 Diperbarui: 22 September 2022   14:16 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/photo/man-sitting-in-front-of-computer-380769/

Dua istilah tersebut di atas baru aku kenal yang mulanya aku pahami sebagai "berhenti diam-diam" (Quiet Quitting = QQ)) dan "diberhentikan diam-diam" (Quiet Firing = QF). Ternyata menurut Kompas artinya berbeda: QQ adalah bekerja seadanya (sekadar menyesuaikan dengan kompensasi yang diterima) dan QF adalah "mendiamkan" karyawan yang bekerja seadanya tersebut tanpa dilibatkan pekerjaan penting dan "bebas dari promosi".

Aku punya pengalaman yang rada mirip dengan kedua istilah tersebut. 

Baca juga: Senangnya Bisa

Kisah nyata ketika masih menjadi pemimpin wilayah di salah satu kota besar di perusahaan multi nasional produk konsumen (multi national fast moving consumer goods). Perusahaan asing yang sangat besar dan sangat terkenal sehingga menjadi idaman bagi banyak orang untuk menjadi pekerjanya.

Babak Pertama: Titip si "Anak Nakal"
"Bang, aku titip kawan kita si A ini. Dia 'nggak performed dan ada kasus pribadi sehingga kita turunkan pangkatnya. Terserah sama abang mau diapain, yang penting dia ada kerjaan setiap hari dan jangan bikin ulah. Manajemen percaya abang bisa mengendalikan orang ini", demikian kata atasan langsungku suatu hari. Memuji sambil memberi penugasan khusus, gaya kepemimpinan yang sudah aku pahami.

"Kenapa 'nggak diminta berhenti aja, pak?", tanyaku polos.
"Dia 'nggak mau mengundurkan diri. Abang 'kan tahu 'gimana perusahaan. 'Nggak mudah memecat orang, akan banyak implikasi yang harus dihindari".
"Sampai kapan, pak?", tanyaku lebih polos karena sudah tahu track record kawan yang perlu dibina tersebut.
"Terserah abang sampai kapan dia tahan dan kemudian berhenti. Lebih cepat lebih baik", kata si boss dengan kalimat pemutusnya.    

Babak Kedua: Mau Apa Sekarang?
Minggu depannya, si "anak nakal" datang.
"Ma'af pak, baru hari ini saya bisa datang melapor perpindahan saya. Bapak tentu sudah tahu. Terserah pada bapak saja yang penting saya masih tetap bisa bekerja. Saya sudah 'nggak punya harapan di perusahaan, pak", demikian "salam perkenalan" yang disampaikannya.

Lalu aku beri kesempatan dia untuk menceritakan kisahnya. Pengakuan, rasa bersalah, dan penyesalan menjadi satu. Hopeless, semua mengarah pada sikapnya sebagai QQ.

Pesan yang aku tangkap dari pembicaraan dengan si bos, sikap Perusahaan adalah dalam posisi QF. Tidak diberikan pekerjaan penting dan tidak akan mempromosikannya sampai 'nggak kuat bertahan sehingga mengundurkan diri.

Selaku pemimpin untuk wilayah yang diberikan kepercayaan padaku, maka aku juga bertanggung jawab terhadap profit and loss bisnis di wilayah tersebut. Selain mencapai target penjualan, juga memastikan produktivitas semua orang yang aku pimpin seoptimal mungkin.

Oleh sebab itu, sang anak nakal aku panggil dan ajak 'ngobrol "pahit-pahit". "Jangan terbebani berlebihan oleh kesalahan masa lalu. Aku berikan kesempatan padamu. Aku akan memperlakukanmu sesuai posisi, bukan jabatanmu. Aku tahu kamu punya potensi, namun semunya kembali padamu. Mau ambil kesempatan berharga ini, atau menunggu kuat-kuatan dengan Perusahaan, yang entah sampai kapan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun