Mohon tunggu...
Pardosa Godang
Pardosa Godang Mohon Tunggu... Dosen - Pelayan, pengajar dan pembelajar

Haus belajar, harus terus sampai aus ...

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bangga Terselubung Pelatih Kampung yang Patut Lebih Kita Dukung

16 Agustus 2022   11:54 Diperbarui: 16 Agustus 2022   12:16 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir seminggu usai pertandingan final Piala AFF U-16 2022 dengan kemenangan timnas kita 1-0 atas Vietnam, namun rasa bangganya masih belum berakhir juga. Terlebih manakala menonton tayangan ulang di teve berlangganan tadi malam, ada yang menggelegak dalam diriku ini menyaksikan bagaimana nyaris "brutal" dan kasarnya permainan yang ditunjukkan oleh Vietnam.

Mempertontonkan ketidaklegowoan Vietnam menerima kekalahan yang berarti kegagalan menjuarai, masih dipertunjukkan oleh beberapa pemainnya yang cemberut dan bertingkah pongah ketika naik panggung menerima medali runner up. 

Seakan tidak cukup selama pertandingan dengan permainan kasar -- menolak sampai jatuh pemain timnas kita di antaranya, selain arogansi yang ditunjukkan coach di luar lapangan pertandingan hingga diganjar kartu merah oleh wasit -- Vietnam terlihat bukan tim yang bermental juara.

Kemenangan anak-anak muda belia kita terasa sangat bernilai mengingat prestasi tersebut didedikasikan sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan yang akan dirayakan puncaknya pada besok Rabu, 17 Agustus 2022. Dukungan sportif para penonton benar-benar menunjukkan kebanggaan bangsa dan nasionalisme yang menggemuruh selama pertandingan.

Namun, ada yang sangat luar biasa bagiku. Yaitu menyadari bahwa timnas U-16 tersebut diasuh oleh Bima Sakti menjadi hal yang extra ordinary. Apalagi, strategi kemenangan tanpa komunikasi (baca: campur tangan) Shin Tae-yong, pelatih timnas senior yang "hanya" mengantarkan timnas nyaris juara. "Saya hanya pelatih kampung ...", katanya suatu kali merendah sambil meminta jangan dibandingkan dengan STY yang diimpor dari Korea Selatan.

Bukan basa-basi -- dan tanpa menafikan hal-hal baik yang dilakukan STY pada timnas asuhannya --  nilainya sangat jauh berbeda jika pelatihnya bukan made in Indonesia alias "100% komponen lokal". Keberhasilan ini mengulangi prestasi yang sama ketika timnas dilatih Fakhri Husaini memenangkan Piala AFF U-16 2018. Lagi-lagi pelatih dalam negeri!

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? 

Pelatih Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan yang impor yang tentunya dibayar dengan sangat mahal. Bahkan jauh lebih mahal daripada bangsa sendiri.

Kita patut berbangga menjadi orang Indonesia. Dan bangga juga dengan prestasi orang-orang Indonesia. Merdeka!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun